Rabu, 21 Desember 2011

Berhubung Penulis Orang Minangkabau asli, sedikit mengisikan tulisan berbau sejarah, bukan purbakala, semoga bermanfaat....

Marantau Cino Kontraproduktif Dalam Budaya Minangkabau



Ada banyak pendapat mengenai pusako, sehingga menyebabkan kesalahpahaman dalam pandangan mengenai hak waris. Dimana meletakan pusako tingggi dengan pusako randah terjadi kekeliruan pemahaman oleh anak salingka nagari di ranah minangkabau maupun di perantauan. Hal ini juga yang menjadi penyebab fenomena marantau cino dalam budaya minangkabau.
Berikut penjabaran defenisi pusako dalam khazanah adat budaya minangkabau
A. Pusako randah
Pusako randah adalah pencaharian yang asalnya dari hasil pusako tinggi. Pada defenisinya, harta pusako randah bisa menjadi pusako tinggi apabila sudah mencapai 3 generasi.
Sedang harta suami istri dalam sebuah keluarga baik di minangkabau atau pun diperantauan disebut harta faraidh (bukan pusako randah) yang hukum warisnya sesuai dengan ajaran syariat islam.
Orang-orang yang memiliki harta tersebut mewakafnya untuk generasi penerus. Sebagai contoh seorang nenek yang memiliki sebidang tanah dapat mewariskan tanah tersebut untuk menjadi ulayat anak cucunya sehingga bisa dipergunakan oleh kaum tersebut sehingga menjadi pusako tinggi.
B. Pusako tinggi
Pusako tinggi adalah harta kaum  yang diwariskan dari nenek moyang untuk generasi penerus yang berbentuk properti seperti rumah, tanah, sawah, ladang dimana berasal dari generasi sebelumnya (nenek moyang) yang dimanfaatkan untuk generasi penerus kaum tersebut agar dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk kelangsungan hidup kaum.
Pewarisan hak ulayat/pusako tinggi kaum tidak pernah berpindah sesuai dengan hukum wakaf dalam ajaran islam. Dalam pola budaya minangkabau kelangsungan kaum menurut garis perempuan karena perempuanlah yang tetap tinggal pada kaum tersebut. Dari nenek ke ibu, dari ibu ke anak perempuan, dari anak perempuan ke cucu perempuan dan seterusnya, yang lazim disebut pola matrilineal.
Maka sesuai hukum islam pula, suatu harta wakaf sama seperti harta pusako tinggi, tidak bisa diperjual-belikan & diwariskan pada pihak-pihak tertentu. Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Hukum waqaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Karena itu kaum sebagai pemilik pusako tinggi yaitu tanah ulayat hanya bisa menggadaikan harta tersebut, yang mana kegunaannya sebagai gadai untuk kemaslahatan kaum tersebut. Ada berapa syarat menurut budaya minangkabau apabila pusako hendak digadaikan :
  1. Rumah gadang katirisan
    Keberadaan rumah gadang bagi masyarakat minangkabau sangat penting sekali. Karena rumah gadang adalah identitas sosial yang menjadi ciri bahwa mereka adalah penduduk asli suatu Nagari. Oleh karena itu apabila tidak ada biaya untuk renovasi rumah gadang, maka Pusako Tinggi dapat digadaikan.
  2. Mayiek tabujua di tangah rumah.
    Hal ini disebabkan tidak adanya biaya untuk melakukan penguburan terhadap dunsanak yang berpulang kerahmatullah. Namun sejak lama bisa diantisipasi dengan adanya fungsi surau dalam menjaga fardu kifayah, sehingga faktor ini sangat minim terjadi di minangkabau.
  3. Gadih gadang indak balaki
    Garis keturunan sako diturunkan dari pihak perempuan. Hal ini berlangsung turun temurun sehingga dapat berkembang biak menjaga kelangsungan kaum tersebut. Apabila ada perempuan yang sudah berumur belum berkeluarga dan tidak terdapat biaya untuk mencarilkan suami maka pusako bisa digadaikan.
  4. Adaik jo pusako indak tagak (Mambangkik batang tarandam)
    Keberlangsungan kaum terletak pada peran penghulu yang memimpin anak kamanakan. Dalam sistem banagari keberadaan suatu kaum diwakili oleh penghulu. Hal-hal yang akan dimusyawarahkan pada limbago adat nagari mengenai kepentingan kaum diwakili oleh ninik mamak penghulu kaum sebagai salah satu unsur tigo tungku sajarangan. Apabila tidak terdapat penghulu pada kaum tersebut, akan memberikan kerugian pada kaum, dimana keterwakilan kaum pada limbago adat nagari tidak ada.
C. Sako
Sako adalah warisan yang tidak berwujud benda ( immaterial ) tetapi sangat berperan dalam membentuk moralitas masayarakat minangkabau dan kelestarian adat budaya minangkabau.
Yang termasuk Sako adalah :
  • Gelar penghulu (gelar kebesaran).
  • Garis keturunan (suku) diwariskan secara turun temurun kepada anak perempuan (matrilineal).
  • Pepatah-petitih dan Hukum Adat.
  • Tata krama dan adat sopan santun.
Setiap perempuan yang bersuku piliang maka seluruh anak – anaknya baik laki-laki maupun perempuan bersuku piliang . Namun si anak laki-laki tidak bisa mewariskan sako kepada anak keturunannya, sedangkan anak perempuan akan tetap menurunkan sako pada keturunannya.
Begitu juga dengan pusako, dari ibu/mandeh diturunkan kepada seluruh anak laki-laki maupun anak perempuan agar dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kelangsungan hidup akan kebutuhan nafkah sehari-hari, pendidikan & kesehatan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah laki-laki bisa menggunakan pusako tinggi ketika bujang & ketika sudah berkeluarga? Jawabanya adalah bisa, namun seperti juga sako, laki-laki tidak bisa mewariskan pusako tinggi kepada tidak bisa diwariskan kepada keturunannya.
Disinilah letak kesalahpahamannya selama ini , bahwa laki-laki di minangkabau sebenarnya juga berhak terhadap pusako tinggi, dapat mengolah pusako, memberi nafkah anak & istri dari hasil pusako tinggi. Namun tidak bisa mewariskan kepada keturunannya seperti perempuan minang yang bisa terus mewariskan pusako & sako kepada anak keturunannya.
Pada prakteknya laki-laki diranah minang jarang yang ada mengolah pusako tinggi kaumnya. Hal ini karenakan istri dari laki-laki tersebut juga memiliki pusako tinggi pada kaumnya. Sehingga untuk menafkahi anak & istri laki-laki di minangkabau cukup dengan mengolah pusako tinggi dari pihak istrinya.
Mengapa demikian? karena alam takambang manjadi guru, dimana ada hak tentu ada kewajiban, dimana ada betina tentu ada jantannya, karena Allah SWT telah menjadi kehidupan ini berpasang-pasangan.
Laki-laki di ranah minang memiliki tanggung jawab menjaga sako & pusako, membimbing anak kamanakan, manjago nagari jan binaso, memimpin kaum untuk kemaslahatan nagari. Dalam konteks masa lampau, dimana perkawinan laki-laki di minangkabau untuk memilih istri tidak terlalu berjauhan dengan kampung halamannya.
Namun bila ditinjau pada konteks saat ini, perkawinan bisa berlangsung pada nagari yang berjauhan. Bisa saja pihak laki-laki berasal dari Lubuk Sikaping Pasaman, sedang pihak perempuan berasal dari Balai Salasa Pesisir Selatan. Terkadang banyak didapati laki-laki di minangkabau menikahi perempuan yang bukan berasal dari minangkabau. Kalau alasan hanya perempuan yang bisa menggunakan pusako tinggi, bagaimana laki-laki tersebut bisa melaksanakan fungsinya sebagai mamak? sebagai Penghulu?
Karena kebudayaan selalu bersifat dinamis, berubah seiring zaman, seiring kemajuan. Sedang yang disebut ” Indak lakang di nan paneh, indak lapuak di nan hujan adalah adat sabana adat yaitu ajaran agama islam yang bersumber pada Al Quran & Sunah Rasullullah SAW. Dimana Allah SWT telah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
(15 : 9) Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya
Dengan begitu bagaimana cara membagi hak pakai/hak olah dalam pusako tinggi, hal itu dimusyawarahkan oleh seluruh keluarga yang terdapat di dalam kaum. Untuk itu pula agar mencegah terjadi perselisihan pada keluarga-keluarga dalam suatu kaum ditunjuklah seorang laki-laki dari kaum tersebut untuk mengatur secara adil yang disebut Penghulu, dengan bimbingan dari penghulu sehingga bisa adil & merata pada masing-masing keluarga.
Kerancuan yang selama ini terjadi adalah menganggap bahwa laki-laki tidak memiliki hak sama sekali atas pusako tinggi, hanya memiliki kewajiban menjaga pusako tinggi. Sehingga membawa kerugian terhadap keberlangsungan kaum tersebut dengan banyaknya laki-laki minang yang merantau dan tidak pernah kembali ke kampung halaman, karena sifat yang berat sebelah, memiliki kwajiban namun tidak berhak atas pusako tinggi. Apabila ini diteruskan, maka hukumnya laki-laki di ranah minang tidak boleh memakan hidangan yang disajikan keluarganya apabila berkunjung ke kampung halaman, kerena dia tidak berhak atas hasil dari pusako tinggi tersebut.
Baa lo kok taka itu? dima lo latak karugian bagi budaya minang dek marantau cino nan dilakukan anak nagari minangkabau? bapandai-pandai lo mamak PAM ko mangatokan marantau cino kontraproduktif dengan budaya minangkabau?
Marantau cino selain merugikan kaum si laki-laki tersebut, memberikan dampak yang sama kerugiannya pada kaum istri. Karena laki-laki yang merasa tidak memiliki hak atas pusako tinggi lebih memilih untuk tetap dirantau hingga akhir hayatnya. Gejala ini yang sering disebut dalam budaya minang sebagai Marantau Cino.
Efek yang dihasilkan dari marantau cino tersebut sudah lama dirasakan oleh masyarakat minangkabau, dengan sepinya kampung halaman, banyaknya rumah-rumah yang kosong, terlantarnya sawah & ladang, sehingga perkembangan ekonomi & budaya di nagari dalam keadaaan mati suri atau jalan ditempat.
Hal ini menimbulkan fenomena baru, yaitu berpindahnya pusako tinggi kepada pihak-pihak yang lain. Seperti terjadinya penggadaian hak ulayat secara sepihak. Munculnya oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan situasi, ditenggarai karena berkurangnya kontrol anak nagari terhadap pusako kaum. Kontrol yang semakin berkurang karena laki-laki di minangkabau enggan kembali ke kampung halaman.
Dengan begitu berhak pula laki-laki di minangkabau menetap di kampung halaman kaumnya dengan membawa anak istrinya (yang beristri non minangkabau), namun pewarisan pusako tinggi tetap pada pihak perempuan, karena pusako tinggi bersifat wakaf. Laki-laki miangkabau hanya bisa menggunakan hak pakai.
Dengan demikian peran laki-laki sebagai mamak terhadap anak kemanakan di kampung halaman bisa tetap terlaksana, sehingga keberlangsungan suatu kaum bisa tetap terjaga, berkesinambungan hingga generasi penerus. Dengan demikian apabila pola ini bisa terjaga anak-kemanakan yang berada dirantau akan tetap menjenguk orang tuanya yang menetap dikampung pada hari tuanya, sehingga tetap terjaga kecintaan terhadap kampung halaman pada generasi muda diperantauan. Dengan demikian generasi muda yang ada dirantau akan kembali ke kampung halamannya di masa tua mengganti peran mamaknya dalam menjago anak kamanakan, sako jo pusako, kaum salingka nagari.
Dengan begitu ada pola estafet dimana orang-orang minangkabau yang telah berpuluh tahun merantau bisa memberikan pengalamannya kepada generasi muda minangkabau di nagari untuk bekal menuju perantauan. Apabila hal ini dapat terjaga, selain dapat memajukan nagari juga membuat pola kaderisasi perantau-perantau muda yang siap manantang kekerasan kehidupan rantau, sehingga kaderisasi tidak pernah putus dalam budaya minangkabau.
Dengan pemikiran ini diharapkan dunsanak yang ada dirantau bisa kembali ke kampung halaman untuk meneruskan kepepimpinan kaum sebagai penghulu & sebagai mamak sehingga memberikan manfaat bagi kaumnya (anak kamanakan) dalam adat banagari & keberlangsungan silaturahim terhadap keluarga-keluarga di dalam kaum salingka nagari.
Adalah salah apabila suatu ungkapan bahwa laki-laki tidak bisa menetap di kampung halaman walaupun rumah dikampung telah kosong bertahun-tahun karena hanya perempuanlah yang berhak menempati rumah tersebut. Karena dalam ajaran islam menyia-nyiakan sesuatu itu sangat dibenci oleh Allah SWT. Semoga kerancuan yang selama ini terjadi bisa kita perbaiki di nagari masing-masing.
Kok buliah kami batanyo ka dalam hati nan paliang dalam dunsanak sakalian nan dirantau, tantu ado kainginan untuak baliak tingga di kampuang halaman sasudah panek bakureh bapuluah tahun diparantauan? Dek karano pemahaman laki-laki indak bisa mahuni rumah nan dikampuang, sahinggo niat nan samulo manjadi suruik salangkah.
Satinggi-tingginyo tabangnyo bangau
Sampai mancpai langik biru, baliaknyo ka kubangan juo
Walau bajalan jauah ka rantau
Iduik sanang satiok wakatu, Kampuang halaman takana juo
Menilik dari kondisi ini, sangat bijaksana apabila anak nagari dikampung halaman bersama anak nagari diperantauan bahu membahu memajukan kampung halaman dengan kapasitas yang dimiliki masing-masing anak nagari. Dengan tetap mengedepankan azas kebersamaan, sifat egaliter, saling menghargai satu sama lain sajauh-jauh tabang bangau pulangnyo pasti kakubangan juo
sajauah jauah marantau namun kampuang ka dikana juo
Barek samo dipikua, ringan samo di jinjiang
ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun
Sabakek bak siriah, Sarumpun bak sarai
Satumpuak bak pinang, Sadanciang bak basi, Saciok bak ayam
Tatilantang samo minum ambun, tatungkuik samo makan tanah
Tarapuang samo hanyuik, tarandam samo basah
Tatangguak di ikan samo dikaruntuangkan,
Tatangguak di sarok samo diserakkan.
Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang,
kato surang dibulati, kato basamo dipaiyokan
Baitulah dunsanak kurenah awak nan kiniko, baa pelaksanannyo dikampuang masing-masing elok kironyo awak sakaum barundiang basamo-samo. Tantu di zaman nan modren ko kasibukan sahari-hari tantulah manyita wakatu untuk barundiang.
Kabilo lo ado wakatu untuak barundiang? Tantu ado waktu nan tapek untuak barundiang. Pabilo ado maso pulang basamo, elok disisiahkan barapo hari untuak marundiangkan kalangsungan kaum awak masing-masing.
Kok pulang basamo awak, elok manjago tingkah jo laku. Jan banampakan bana hasia pancarian di rantau, mak tagajo hati dunsanak nan lain, nan bisa mengetekan hati dunsanak sasamo kaum. Kalau lah ketek hati sajak samulo, alah payah untuak ka barundiang mamajukan nagari awak basamo.
Dek karano sifat membanggakan adalah bibit kesombongan nan suko bana syaitan bakawan jo awak. Tantunyo dunsanak sakalian indak lo namuah sapacokian jo syaitan nan dilaknat Allah SWT hinggo akhir zaman.
Apabila ada yang baik tentunya datang dari Allah SWT,
apabila ada yang buruk tentu datangnya dari kami.
Semoga bermanfaat bagi dunsanak sakalian, amin ya Rabbal alamin.

Dicopy dari Armen Zulkarnain,  penulis adalah admin Pituah Adat Minangkabau Facebook;http://armenzulkarnain.wordpress.com, tanpa merubah isi tulisan

Kamis, 15 Desember 2011

Pra sejarah Austronesia di Asia Tenggara: Tanah Air, Ekspansi dan Transformasi


Oleh: Peter Bellwood
2 January 2010

Asal mula rumpun bahasa Austronesia disajikan disini  sebagai contoh dari fenomena berulang dalam dunia prasejarah, yang mana populasi yang mengembangkan sektor pertanian didalam wilayah yang dilengkapi oleh keuntungan dalam sektor ekonomi karena dikelilingi oleh kelompok pemburu. Keuntungan tersebut memungkinkan mereka untuk melakukan kolonisasi pada wilayah yang luas, dan catatan dari kolonisasi ini terlihat dalam kepurbakalaan dan catatan linguistik. Pola ekspansi rumpun bahasa Austronesia dan beberapa faktor utama mempengaruhi diferensiasi yang lebih lanjut dalam budaya Austronesia telah diperbincangkan, dimulai dari tahun 4000 SM di Cina Selatan dan Taiwan.
Pertanyaan Tentang Asal Tanah Air
Makalah ini akan dimulai dengan berfokus pada pertanyaan dimanakah nenek moyang langsung dari Austronesia Inti berasal, dan kapan. Austronesia Inti adalah kesatuan linguistik yang terhipotesiskan, kemungkinan bahasa tunggal atau jaringan dialek (lihat Pawley dan Ross pada buku ini), nenek moyang dari semua rumpun bahasa Austronesia yang ada. Akan tetapi seperti kebanyakan bahasa, Austronesia Inti mempunyai seorang leluhur, sebelum kenaikan rumpun bahasa Austronesia sebagai sebuah taxon linguistik dengan keunikan sejarahnya tersendiri.
Pengamatan relevan bagi pertanyaan ini, salah satu menarik terutama dalam hal relevansinya bagi dunia prasejarah, apakah wilayah tersebut adalah tanah air dari banyak rumpun bahasa utama yang mempunyai sejarah yang panjang akan pertanian nampaknya terhubung secara geografis dengan daerah asal (yaitu indigenously-generated) pertanian (Bellwood 1990b, 1991, in press b). Di Dunia Lama beberapa rumpun bahasa seperti Indo-European, Elamo-Dravidian, Afro-Asiatic, Niger-Kordofanian, Nilo-Saharan, Sino-Tibetan, Austroasiatic, Thai-Kadai (or Daic of Ruhlen 1987) dan Austronesian. Dua rumpun yang pertama , kemungkinan Afro-Asiatic, mempunyai letak tanah air yang tidak pasti, atau berbatasan dekat dengan Asia tenggara, dua rumpun yang kedua berasal dari sub-Saharan Afrika utara dan yang ketiga terakhir (kecuali Sino-Tibetian) berasal dari Cina tengah dan selatan. Ketiga wilayah geografis ini dikenal dari data kepurbakalaan yang menjadi saksi akan perkembangan daerah setempat mengenai penggunaan tanaman dan hewan-hewan, di setiap kasus sebelum terdapat perkembangan karena campur tangan wilayah dari Dunia Lama (MacNeish 1992). Dikarenakan korelasi yang meluas antara pusat awal pertanian dan rumpun bahasa tanah air (Renfrew 1992), seseorang boleh saja mengusulkan sebuah cara yang mana secara demografis mengembangkan pupulasi pertanian yang bergerak keluar dari wilayah pertanian yang sebelumnya, kemungkinan pelan namun pasti tidak dapat dihindari kalau tanah jajahan sebelumnya telah ditempati oleh pemburu (sebagai mana yang diusulkan untuk Eropa oleh Ammerman and Cavalli-Sforza 1984; Renfrew 1987).
Apabila seseorang memeriksa distribusi geografis pada rumpun bahasa utama ini dan geografi perbedaan antara mereka, akan terlihat bahwa wilayah dari asal pertanian menyatakan bahwa keduanya memeliki jumlah yang lebih besar dari jumlah rata-rata rumpn bahasa yang berbeda dan tingkat tinggi dari perbedaan rumpun bahasa internal, sebagaimana terlihat oleh kedekatan sub-sub kelompok yang mempunyai sejarah panjang akan pemisahan. Adalah benar untuk tiga wilayah yang disebutkan ini, juga untuk bagian wilayah agraris di Meksiko Tengah, Andes Utara di Peru dan Ekuador dan Pulau Papua.
Secara langsung berhubungan dengan buku ini, rumpun bahasa Austronesia, Thai-Kadai, Hmong-Mien dan rumpun bahasa Austroasiatic nampaknya muncul oleh proses pemisahan diluar Cina Selatan subtropis dan Daratan Utara Asia Tenggara, sebuah zona yang terletak di antara Yangzi dam Thailand Utara/Indocina, yang dimana penanaman beras dan tanaman pertanian lainnya dikembangkan dengan luas antara tahun 6000 dan 3000 SM. Beberapa dari rumpun bahasa Papua di Pulau Papua juga terkait dengan pusat awal pertanian, meskipun dalam hal ini hasil yang terlihat merupakan perlindungan populasi dan pertambahan ditempat asal dibandingkan perpisahan yang sebenarnya kedalam wilayah-wilayah baru.
“Revolusi” Neilotik Cina terjadi pada dua wilayah yang terhubung secara budaya. Yang pertama, terletak di Sungai Kuning, yang mendorong penyebaran milet rumput rubah dan jewawut pada tahun 6000 SM. Kedua, di Yangzin bagian Tengah dan Bawah, mendorong penyebaran beras pada kisaran waktu yang sama (Yan 1991). Meskipun para ahli ilmu purbakala dari Cina ini cenderung beranggapan bahwa Sungan Kuning dan Yangzi ini sebagai faktor pendorong budaya Neolitik secara tidak langsung, kita perlu melihat kepada Cina bagian Tengah dan Timur sebagai pusat tunggal dari awal perkembangan angin musim pertanian di Asia.
Baik beras dan milet ekor rubah telah ditemukan di Cina pada awal masa Neolitik pada gudang penyimpanan dan tempat tinggal, dalam jumlah yang cukup banyak untuk menyatakan bahwa beras dan milet dengan cepat menjadi pangan pokok utama. Ada sedikit keraguan bahwa mereka akan memicu kenaikan jumlah penduduk yang mungkin cukup cepat, dengan munculnya bukti kepurbakalaan dari budaya Neolitik tertua melewati daratan luas Cina sekitar tahun 5000 SM (Chang 1986). Salah satu akibatnya adalah ekspansi keluar dari populasi tersebut melibatkan wilayah yang sampai sekarang dihuni oleh pemburu.
Dari tahun 5000 SM, perkampungan para petani padi berada di dibawah baris pantai sebelah timur Cina sampai Guangdong selatan, dan sekitar tahun 4000 SM di Vietnam utara dan Thailand. Dalam peninggalan arkeologi mereka ditemukan kumpulan artefak yang meninggalkan keyakinan tentang dampak hebat akan gaya hidup yang baru. Sebagai contoh, pedesaan rumah bertiang yang berumur 7000 tahun, berada dipantai selatan Teluk Hangzhou di Propinsi Zhejiang, telah menghasilkan barang tembikar, batu kampak, alat pertanian dari kayu dan tulang, bukti-bukti dari pertukangan kayu dan pembangunan kapal, dayung, gelungan spindel untuk menenun, tikar, tali, dan beras dalam jumlah yang besar. Sebagai tambahan, situs tersebut menghasilkan tulang belulang dari babi, anjing, ayam, hewan ternak dan kerbau air yang diternakan. Adalah permukiman desa yang besar dan penggunaan alat-alat yang mendasar dan perubahan yang drastis pada gaya hidup berburu makanan dengan berpindah tempat dari Masa Akhir Paleolitik Asia Timur. Penduduk dari Hemudu dan permukiman pertanian orang-orang Cina tinggal selama peristiwa evolusi budaya yang pada akhirnya memberikan reaksi pada keseluruhan Asia timur yang berhawa sedang dan tropis dan juga Pasifik. Salat satu dari sekian reaksi ini, sekalipun seseorang yang mengembangkan daya momentum pertama seribu kilometer atau bagian selatan Hemudu, adalah ekspansi yang paling fenomenal dari para penutur bahasa Austronesia.
Pola dari Ekspansi Austronesia
Adalah perlu untuk kembali lagi pada bukti-bukti linguistik untuk merencanakan sumbu geografis dari ekspansi penutur bahasa Austronesia awal. Dimulai dengan tingkat Pre-Austronesia, jumlah klaim yang telah dibuat untuk hubungan genetik kepurbakalaan antara bahasa Austronesia dan rumpun bahasa Asia lainnya (lihat catatan kaki 1). Mungkin yang paling dikenal dari klaim berikut adalah hipotesa Austro-Tai dari Paul Benedict (1975; Reid 1984-5), yang menyatakan bahwa rumpun bahasa Tai-Kadai dan Austronesia pernah membagi bahasa nenek moyang bersama atau rantai bahasa yang dipakai di daratan Cina selatan. Benedict telah mengusulkan sejumlah rekonstruksi kosa kata yang penting untuk bahasa nenek moyang ini, termasuk istilah untuk lahan, lahan basah (untuk padi atau talas), kebun, padi, tebu, hewan ternak, kerbau air, kapak, dan perahu kano. Tumpang tindih diantara daftar ini dan yang telah disebutkan diatas untuk Hemudu dan situs-situs di kawasan pantai Cina selatan membutuhkan sedikit perhatian. Seseorang harus memikirkan dengan serius akan kemungkinan bahwa ekspansi pertama dari bahasa Austronesia dan Tai-Kadai (kemungkinan juga Austrosiatic) dimulai antara komunitas penanam padi Neolitik di Cina, Yangzi Selatan. Catatan kepurbakalaan sangat setuju dan menyediakan cakupan penanggalan untuk perkembangan yang pertama sekitar pada tahun 5000 dan 4000 SM.
Bergerak melewati Austro- Tai kedalam rumpun bahasa Austronesia dengan baik, rekonstruksi dari pra sejarah linguistik yang mana digunakan secara luas pada saat ini, digagaskan oleh Robert Blust (1984-5). Hal tersebut berdasar pada diagram silsilah sub-sub kelompok dan hirarki dari bahasa inti yang meluas dari Austronesia Inti (PAn) yang bergerak dari waktu ke waktu. Berkurang dari sifat-sifat dasarnya, rekonstruksi milik Blust mendorong perluasan secara geografis dimulai dari Taiwan (asal dari bahasa Austronesia yang tertua, termasuk PAn), kemudian mencakup Filipina, Borneo dan Sulawesi, yang akhirnya terbagi kedalam dua cabang, cabang yang satu bergerak ke arah barat menuju Jawa, Sumatra dan Malaya, cabang yang kedua bergerak ke arah timur menuju Oseania (lihat Darrel Tyron untuk ikhtisar yang lebih lengkap didalam buku ini).
Kekayaan dari rincian linguistik dapat ditambahkan kedalam kerangka ini, tapi saya akan membatasi diri saya sendiri untuk beberapa implikasi dari sejarah keseluruhan dan kebudayaan yang penting. Selama masa linguistik sebelum perpecahan dari Austronesia Inti (Pan) terlihat bahwa beberapa penjajah dengan ekonomi pertanian bergerak melewati Selat Formosa dari tanah daratan Cina ke arah Taiwan (Bellwood 1984-5, 1992). Disini berkembang bahasa Austronesia Pertama, dan setelah berabad-abad beberapa penutur bahasa ini membuat pergerakan pertama meraka ke arah Luzon dan Filipina. Pergerakan ini mendorong pembelahan dari rumpun bahasa Austronesia kedalam dua sub kelompok utama, Formosan dan Melayu-Polinesia (atau Ekstra-Formosan). Koka kata Pan yang terekonstruksi, yang berhubungan dengan tahap awal Taiwan-Luzon, menunjukan perekonomian yang cocok dengan garis lintang tropis dengan penanaman padi, milet, tebu, penjinakan anjing dan babi, dan penggunaan macam-macam perahu.
Sebagai hasil dari pergerakan kolonisasi yang lebih lanjut melalui Filipina ke arah Borneo, Sulawesi dan Maluku, sub kelompok rumpun bahasa Melayu-Polinesia (MP) dengan cepat terpisah kedalam beberapa cabang Barat dan Timur-Tengah tingkat rendah. Perpecahan dari bahasa Bahasa Malayo-Polinesia Tengah-Timur kemungkinan pada awalnya terjadi di Maluku dan Bahasa Malayo-Polinesia Timur mengandung semua bahasa Austronesia dari Kepulauan Pasifik terpisah dengan yang lainnya di Micronesia barat. Pembendaharaan kata dari Bahasa Malayo-Polinesia Inti (PMP), kesatuan linguistik yang kemungkinan berada disuatu daerah di Filipina, merupakan daya tarik yang besar karena berisi sejumlah penunjuk ekonomi tropis yang tidak berada pada masa bahasa Austronesia Inti sebelumnya. Menurut Blust (1984-5), hal initermasuk talas Colocasia, buah sukun, pisang, ubi rambat, sagu dan kelapa. Keberadaan mereka mencerminkan akan penggantian padi, tanaman yang pada awalnya beradaptasi dengan garis lintang sub tropis, kearah ketergantungan yang besar akan akar umbi dan buah-buahan di daerah garis katulistiwa (Bellwood 1980a, 1985). Pembendaharaan kata Bahasa Malayo-Polinesia Inti juga mmepunya istilah untuk barang tembikar, pelayaran kano dan beberapa komponen dari perumahan kayu yang kuat (Zorc 1994).
Dapat dipertanyakan bagaimana catatan kepurbakalaan terhubung dengan rekonstruksi ini pada arah dan komponen budaya dari ekspansi Austronesia. Budaya kepurbakalaan tertentu tidak dapat disamakan secara logika dengan bahasa nenek moyang di dalam masa prasejarah. Bagaimanapun juga, keberadaan dari komponen teknologi dan ekonomi bahasa Austronesia Inti dan  Malayo-Polinesia Inti dapat dicari untuk keuntungan dalam catatan kepurbakalaan didalam wilayah yang saat ini ditempati oleh penutur bahasa Austronesia. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah kesimpulan yang pantas bahwa baik kedua bahasa Austronesia Inti dan Malayo-Polinesia Inti menggambarkan masyarakat pertanian yang diantaranya menanam pasi, membuat belanga, hidup dalam rumah yang kuat dan beternak babi. Seperti yang terjadi, bukti langsung untuk semua hal ini bertahan dalam catatan kepurbakalaan di kepulauan Asia Tenggara, dan semuanya pertama kali mumcul dalam penggalian situs yang tersebar luas sekitar tahun 4000 dan 1500 SM. Selanjutnya, kemunculan mereka (terutama barang tembikar) menunjukan perkembangan masa -yang paling awal di wilayah utara Cina, Taiwan dan Luzon dan kemudian bergerak kearah selatan menuju Indonesia katulistiwa dan Oseania barat (Spriggs 1989). Memberikan perkiraan hubungan antara linguistik dan catatan kepurbakalaan (Bellwood 1985), kita dapat berhipotesa mengenai sebuah perkumpulan langsung dengan perpecahan dari penutur bahasa Austronesia, dibandingkan perpecahan dari materi-materi budaya ini dikarenakan oleh penyebaran saja.
Catatan kepurbakalaan Neolitik di Taiwan dimulai pada sekitar tahun 3000-4000 SM dengan perkumpulan kepurbakalaan di Cina selatan, kemungkinan awalnya dibawa oleh kelompok-kelompok kecil dari penetap agraris melewati Selat Formosa dari Fujian (Tsang 1992). Sifat khusus artefak dari situs tertua termasuk tembikar berpola tali temali, kapak batu asah dan penunjuk tombak tulis. Barang-barang lainnya seperti pisau panen tulis dan poros putar pembakar tanah liat (untuk memutar atau menenun) kemungkinan tiba sedikit lebih lama. Dari tahun 3000 SM di Taiwan terdapat bukti untuk beras dan dari catatan serbuk sari, pembersihan hutan pedalaman untuk bercocok tanam.
Antara tahun 2500 dan 1500 SM kumpulan barang kepurbakalaan dengan pola tembikar polos atau bersarung merah, dibandingkan tipe tali temali Taiwan yang lebih tua, muncul di kawasan pantai dan wilayah pedalaman baik di Filipina, Sulawesi, Borneo utara, Halmahera dan (dengan ternak babi) sepanjang Timor tenggara. Tidak satupun situs pada periode ini yang telah dilaporkan dari pulau-pulau besar di Indonesia barat, tapi penelitian dari sejarah serbuk sari di pegunungan Jawa barat dan Sumatra menunjukan bahwa beberapa pembersihan hutan yang cukup intensip untuk lahan pertanian berlangsung setidaknya tahun 2000 SM, atau lebih awal (Flenley 1988). Di dalam garis lintang khatulistiwa di Indonesea terdapat perubahan dari penanaman padi kearah ketergantungan yang lebih besar pada buah-buahan tropis dan akar umbi yang disusun di atas untuk kosa kata Malayo Polinesia Inti. Biji-bijian tidak pernah diperkenalkan kedalam Kepulauan pasifik, dengan pengecualian pada padi di Marianas.
Dari tahun 1500 SM, oleh karena itu koloni agraris telah menyebar dari Taiwan ke perbatasan barat Melanisia. Ekspansi yang berlanjut melalui Melanisia kedalam Polinesia barat, ditunjukan oleh budaya Lapita, terlihat lebih cepat dibandingkan pergerakan sebelumnya, mungkin dikarenakan produksi makanan (sebagai lawan dari pemburu semata) populasi penutur bahasa Papua sebelumnya telah menempati sejumlah wilayah kawasan pantai dari pulau-pulau besar di Pulau Papua, Bismarck dan Solomon. Barang tembikar Lapita yang dihias dengan sempurna ditemukan di situs lepas pantai dari barat Badan Kelautan sampai Samoa timur, berjarak sekitar 5000 kilometer (lihat bab selanjutnya). Ekspansi Lapita ini terjadi antara tahun 1600 dan 1000 SM dan melibatkan Solomon utara dan timur, untuk periode lanjutan yang pertama dalam prasejarah Austronesia, pemukiman dari pulau tak berpenghuni sebelumnya. Antara tahun 1000 SM dan 1000 M, pemukiman dari wilayah tak berpenghuni ini berlanjut sejak itu dan seterusnya (Irwin 1992), akhirnya untuk menggabungkan keseluruhan pulau Polinesia dan Micronesia dan pada sisi lain dunia, Madagaskar (Peta 1).
Mengapa Ekspansi Terjadi?
Pokok utama dari catatan linguistik dan kepurbakalaan, yang berhubungan pada awal perpisahan rumpun bahasa Austronesia, dan penyebabnya, saat ini dapat disimpulkan. Para penjajah pertanian pengguna bahasa Austronesia mengalami ekspansi yang terus-menerus (Walaupun terbagi dalam masa yang ditandai dengan pergerakan yang cepat), lebih dari satu period dari sekitar 4000 tahun, dari wilayah pusat agraris di Cina selatan melalua ribuan kilometer garis pantai dan melewati jurang lautan yang luas di arah timur kedalam Pasifik. Ekspansi ini, yang terlihat mengabaikan pedalaman pulau pada masa-masa awalnya, bertemu dengan perlawanan budaya yang kuat hanya dalam wilayah yang memiliki sejarah pertanian sebelumnya, hal ini terbatas pasa daratan Asia Tenggara dan Melanisia Barat, wilayah berikutnya adalah menjadi satu dimana ilmu purbakala telah mengindikasi keberadaan dari perkembangan pertanian bebas sebelumnya (Golson 1985; Golson dan Gardner 1990).
Angka yang mana pada masa awal penjajahan Austronesia terjadi, menjadi yang paling pesat dalam catatan dunia agraris prasejarah, meskipun tidak dapat disangkal kebanyakan dari mereka melewati lautan daripada kedalam massa tanah pengisap yang besar. Kemungkinan tidak disebabkan hanya dengan kepercayaan yang berlebih pada pengolahan tanah kosong, sebuah penjelasan yang telah saya dukung pada masa lalu (Bellwood 1980b), tapi dengan sejumlah stimulus yang berneda. Hal ini termasuk, susunan berikut:
  1. Pertumbuhan penduduk yang berkelanjutan berdasar pada persediaan pangan pertanian, membiarkan “kenaikan” generasi ke generasi yang berlanjut dari keluarga yang baru kedalam daerah yang baru (bandingkan Ammerman dan Cavalli-Sforza 1984 untuk contoh Eropa);
  2. Transportability yang melekat dan reproduktifitas ekonomi pertanian untuk mendukung penjajah propagules, terutama pada miskin sumber daya pulau-pulau kecil;
  3. Tersedianya “zona perbatasan” yang dalam dan menyerap untuk daerah jajahan, berbatasan dengan wilayah perkembangan pertanian Austronesia awal, ditempati oleh populasi pemburu (dengan kata lain Taiwan dan Filipina pada masa awal ekspansi), yang kebanyakan orang akan menunjukan ketertarikan yang sedikit dalam mengadopsi penghematan agraris yang sistematis untuk diri mereka sendiri (Bellwood 1990b, 1991);
Peta 1: Perkiraan penanggalan dari awal kolonisasi Austronesia
  1. Tradisi yang berkembang dari konstruksi pelayaran kano dan navigasi (lihat Adrian Horridge dalam buku ini)
  2. Kegemaran akan pergerakan lintas pantai dan eksploraso, kemungkinan untuk menemukan lingkungan yang paling baik untuk pertanian dan tambak, hingga mempromosikan pola kolonisasi dari pendudukan kisaran luas berikut, seringkali hanya beberapa abad kemudian, dengan perantara wilayah.
  3. Keingginan yang secara budaya di perbolehkan untuk menemukan permukiman yang baru untuk menjadi orang yang dipuja atau menjadi leluhur yang didewakan oleh generasi di masa datang (barangkali hal ini menyangkut perserikatan dengan proses penjajahan itu sendiri -lihat Bellwood, dalam pers a);
  4. Keinginan untuk menemukan sumber baru dari bahan mentah sebagai “barang berharga” untuk jaringan pertukaran (Friedman 1981; Hayden 1983; Kirch 1988).
Tidak semua dari faktor pendorong ini hadir sebelum proses ekspansi Austronesia dimulai;yang tertulis pada (4) dan (6) secara khusus tersusun dalam bagian sebagai hasil dari prosesnya sendiri, seperti (7) apakah itu arti besar sebagai badan penjajahan (yang saya ragu; Bellwood in press a). Namun, kecurigaan saya bahwa keran-akar dari proses ekspansi, sebuah sine qua non, adalah milik sistematis ekonomi pertanian mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang berkesinambungan.
Para skeptik di sini mungkin bertanya mengapa, mengapa pertumbuhan penduduk pertanian begitu penting, semua bangsa pertanian awal tidak hanya memperluas dengan cara ini.  Aku akan menjawab bahwa mungkin sebagian besar dari mereka melakukannya, dan ini menjadi sangat signifikan jika orang memandang bahwa pertanian awal adalah pembangunan biasa dalam bentuk primer (yaitu sebagai hasil evolusi murni lokal dari budaya mencari makan pribumi basis), terbatas untuk  beberapa wilayah dan tanaman / hewan di wilayah Afrika tengah, barat daya Asia, Cina, Pulau Papua, Mesoamerica, dan Andes utara, Sungai Mississippi. Seperti telah saya catat, ini mungkin ekspansi awal ini, tengah menjamur di penduduk ringan, sehat dan kaya sumber daya alam dunia, yang meletakkan dasar distribusi dari banyak rumpun bahasa utama pada Dunia Lama saat ini.
Transformasi
Rumpun bahasa Austronesia awal memulai karir ethnolinguistik mereka di kawasan pantai sub tropis dan penduduk digaris pantai dengan perekonomian Neolitik berdasar pada biji-bijian dan penanaman akar umbi dan peternakan hewan. Keturunan etnografi mereka di pulau Asia tenggara berhasil menciptakan ekonomi subsisten yang lebih luas, termasuk hutan tempat mencari makan dan koleksi-untuk-perdagangan; kelautan  (lihat Sather, buku ini); bentuk irigasi dan budidaya padi sawah tadah hujan yang bermacam-macam; perpindahan tanaman ke biji-bijian, buah-buahan dan umbi-umbian, dan bahkan eksploitasi sawit (Fox 1977). Penyebab transformasi tertentu hanya dapat dihipotesiskan, namun hipotesis seperti itu tidak akan berjalan terlalu jauh, kecuali jika diakui bahwa awal Sebuah koloni dan keturunan mereka pasti telah dipengaruhi oleh dua jenis bentang alam , lingkungan dan manusia.
Dalam hal faktor lingkungan, maka ekspansi Austronesia tidak akan pernah mulai sama sekali apabila peserta awal tidak dapat menyeberangi jurang sekitar 120 km antara China dan Taiwan, dan antara Taiwan dan Kepulauan Batan. Zorc (1994) baru-baru ini menunjukkan betapa sulitnya untuk merekonstruksi istilah untuk kapal dan navigasi untuk Proto-Austronesia (sebagai lawan dari Proto-Malayo-Polynesia) dan dia menyatakan bahwa kebanyakan istilah pelayaran mungkin telah hilang di Taiwan, disebabkan oleh pengaruh yang besar dari pendudukan Cina di kawasan pantai. Jika demikian, kosa kata Proto-Austronesia akan pernah memiliki lebih banyak istilah pelaut ketimbang sekarang. Oleh karena itu, tempat yang cocok untuk mencari bukti arkeologi dari perubahan kontruksi kapal dan navigasi mungkin di antara ratusan pulau-pulau kecil yang mengapit pantai Zhejiang dan Provinsi Fujian. Setahu saya pulau-pulau ini memiliki beberapa peninggalan kepurbakalaan, terlepas dari milenia kelima SM kumpulan tembikar dari Fuguodun shellmound di Quemoy (Chang 1977; lihat juga Chang 1992 untuk update terbaru). Akan tetapi, apabila penduduk Austronesia membutuhkan “nursery” bahari, mungkin akan tersedia.
Faktor lingkungan kedua yang mempengaruhi hasil dari ekspansi rumpun bahasa Austronesia adalah perubahan setahap demi setahap dari iklim sob-tropis musiman kedalam iklim khatulistiwa basah seraya para penjajah bergerak ke arah selatan dari Taiwan dan Filipina menuju Khatulistiwa. Tentu saja, pemukiman Jawa dan tenggara Austronesians Indonesia ditempatkan kembali ke dalam wilayah ber-iklim musiman mencolok. Tapi tepat di pulau-pulau khatulistiwa – Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Tengah, Halmahera – kondisi iklim yang berlaku mungkin menyebabkan ketergantungan perekonomian pada umbi-umbian dan buah-buahan utama daripada biji-bijian, beras dan millet. Saya telah menyatakan hal ini sebelumnya di beberapa terbitan buku (misalnya Bellwood 1980a, 1985) dan tidak melihat adanya alasan untuk mengubah pandangan-pandangan saya, yang menawarkan penjelasan yang mudah mengapa sereal seharusnya sudah tidak ada di luar ekonomi Kelautan Mikronesia barat; bagian utara terusan Pulau Papua ke Oseania sepenuhnya khatulistiwa.
Mengenai bentang alam manusia sebelumnya yang sekarang adalah Austronesia barat yang menarik dan beragam pola dapat direkonstruksi. Sebagian besar dari Pulau Asia Tenggara mungkin dihuni oleh pemburu pada masa pra-Austronesia dan di hutan hujan di Paparan Sunda di sana mungkin hanya terdapat sedikit pemukiman, kebanyakan difokuskan di kawasan pesisir, banyak dari mereka yang saat ini berada di bawah permukaan laut dikarenakan es postglacial yang mencair (Bellwood 1990a). Populasi yang lebih padat berada di wilayah musiman di pulau Jawa, Sunda Kecil dan Filipina tengah dan utara, seperti yang disaksikan di Filipina dengan adanya pemburu dari Agta yang fisiknya relatip mirip dengan orang Melanisia (walaupun saat ini adalah penutur bahasa Austronesia; Reid 1990) hingga saat ini. Bahkan, untuk mendiami pulau Wallacean (Filipina, Sulawesi, Lesser Tenggara, Maluku), sebagaimana juga Australia dan New Guinea, kolonis Pleistosen asli harus memiliki  tingkatan kapasitas pelaut, meskipun belum sempurna, oleh sekurang-kurangnya 40.000 tahun yang lalu . Apakah Austronesians mempelajari sejumlah keterampilan pelaut dari mereka, mungkin bersamaan dengan penggunaan sejumlah tanaman khatulistiwa seperti sukun dan kelapa, Yang pertama kali muncul dalam sejarah linguistik bahasa Austronesia dalam kosa kata Malayo-Polinesia Inti? Sebelumnya saya sudah menunjuk pada penelitian Zorc yang hanya sedikit istilah dalam bidang pelayarannya yang dapat direkonstruksi kedalam Austronesia Inti. Meskipun kurang bijaksana untuk menyangkal ilmu pengetahuan Proto-Austronesians setidaknya dibidang kano, pantas diingat bahwa banyak dari awal ekspansi dari masyarakat berbahasa Austronesia adalah melalui Wallacea, terutama Filipina dan Sulawesi dengan kepulauan gandaan satelit mereka.
Diantaranya topografi Pleistosen Akhir Wallacea yang lebih berair, bukannya jembatan tanah Paparan Sunda, bahwa orang mungkin mengharapkan pra-Austronesia memiliki tradisi maritim berkembang dan telah ditransmisikan untuk kemudian pendatang (Irwin 1992).
Diluar Kepulauan Asia Tenggara, rumpun bahasa Austronesia awal bertemu dengan perlawanan budaya yang kuat, baik di barat dan timur. Sebuah dunia yang tentunya berbeda menanti para penjajah di Kepulauan Pasifik  melewati Solomon – kosong dan mengundang, sama sekali tanpa penduduk pre-Austronesia (lihat bab berikut)
Catatan kepurbakalaan menjelaskan bahwa populasi dari Neolitik menempati keseluruhan wilayah dari Daratan Asia Tenggara, termasuk Semenanjung Malaysia, setidaknya pada tahun 2000 SM (Higham 1989; Bellwood 1993). Persamaan kepurbakalaan yang relevan dengan semua budaya, terletak didalam wilayah daratan itu sendiri, bukannya melewati pulau-pulau; mungkindapat dihipotesiskan bahwa mayoritas populasi pertanian dari Thailand, Indochina dan Semenanjung Malaysia saat ini menggunakan bahasa yang terkait erat dengan rumpun bahasa Austroasiatic moderen. Di Vietnam selatan leluhur dari penduduk yang menggunakan bahasa Austronesian Chamic mungkin telah memaksa masuk ke dalam bentang alam yang sudah cukup padat dihuni oleh petani yang sudah ada sebelumnya. Ekspansi Austronesia ke Semenanjung Malaysia terjadi lama setelah ekspansi dari petani Austronesia (awal Aslian penutur bahasa) ke arah selatan dari Thailand pada milenium ketiga SM. Tentu saja para petani penutur bahasa Austroasiatic mungkin awalnya telah mendiami daerah jajahan yang dengan cepat ke dalam bagian Sumatra dan Borneo barat, bila seseorang memandang dengan luas akan bukti serbuk sari dan sejumlah petunjuk dasar linguistik (lihat Adelaar, buku ini.) Keberadaan awal dari populasi pertanian tersebut setidaknya Malaya dan Vietnam bisa menjelaskan mengapa daratan Asia Tenggara hanyalah sebuah wilayah permukiman prasejarah Austronesia yang kecil, seperti, di bawah keadaan yang agak berbeda budayanya, seperti New Guinea.
Seperti di daratan Asia Tenggara, Pulau Papua dan Melanisia barat, penduduk baru Austronesia juga menemukan sebuah perlawanan yang kuat – secara biologis, budaya dan bahasa. Keberadaan dari perkembangan pertanian utama di Pulau Papua tidak dapat diragukan lagi, bahkan jika tidak jelas berfokus dimana (dataran tinggi atau pantai?) Dan persis bagaimana ekonomi yang berpartisipasi berfungsi (Golson dan Gardner 1990). Budidaya tanaman, terutama talas , sangat mungkin, tetapi banyak populasi pantai mungkin telah mengangkat mereka ke luar kepadatan populasi tingkat tahan oleh bentuk-bentuk lain dari eksploitasi pohon (sagu dan Canarium) atau pertukaran bahan makanan. Banyak dari orang-orang ini, seperti sepupu Wallacean mereka, juga tahu bagaimana untuk menyeberang laut, seperti yang disaksikan oleh Pleistosen Akhir,penemuan dan distribusi dari bebatuan Britania Baru (Allen et al. 1989). Namun, keterampilan pelaut mereka mungkin lebih terbatas daripada yang dari pemukim Austronesia mendatang, pada sekitar 1000 SM, mampu menjajah Polinesia jauh ke barat dan berdagang bebatuan Talasea dari Britania Baru melintasi jarak 6.500 kilometer dari utara Kalimantan di barat ke Fiji di sebelah timur (Bellwood 1989). Inilah yang mungkin membuat bebatuan Talasea menjadi komoditas yang diperdagangkan paling jauh pada masa Neolitik.
Beberapa Generalisasi Akhir
Dapat saya gambarkan dengan singkat, beberapa perubahan utama yang saya percaya bahwa masyarakat prasejarah Austronesia melalui Kepulauan Asia Tenggara sekitar tahun 4000 SM dan 1 M
  1. Tahun 4000-3500 SM; Ekspansi Austronesia yang pertama;tanaman biji-bijian dan pertanian akar umbi, pelayaran terbatas.
  2. Tahun 3000 SM; Ekspansi Austronesia Inti ke Filipina utara;kemajuan dari teknologi pelayaran, perubahan gaya dari corak tali menjadi polos atau tembikar bersarung merah.
  3. Akhir milenium ketiga dan milenium kedua SM;perpecahan Malayo-Polinesia Inti dari Filipina selatan ke Borneo, Sulawesi dan Maluku; pesona buah-buahan katulistiwa dan produksi akar umbi biji-bijian sebagai lawan, kecuali didaerah yang paling selatan dan pulau-pulau yang beriklim musiman seperti Jawa yang dimana padi adalah sumber makanan utama. Satu peningkatan dari ketertarikan yang besar mungkin terjadi pada saat ini bisa jadi adalah permulaan dari penyesuaian para pemburu terhadap hutan hujan di Borneo dan Sumatra (lihat Sather, pada buku ini).
  4. Milenia pertama/kedua? Dimulai dengan perubahan pergerakan bahari (penggembara laut inti?) disekitar Sulu dan Lautan Sulawesi (bandingkan Bellwood 1989 untuk ekonomi bahari dengan pertukaran jarak-jauh di Bungkit Tengkorak, Sabah sekitar tahun 1000 SM), dan kemungkinan ditempat yang lain. Hal ini, pada gilirannya kemungkinan telah memerintahkan beberapa dasar pelayarannya.
  5. Pertengahan dan akhir milenia ke dua SM;kolonisasi Lapita di Remote Oseania sampai sepanjang Tonga dan Samoa. Keterampilay berlayar dikembangkan pada masa ini untuk pulau-pulau tak berpenghuni, tetapi dengan sedikitnya peluang untuk menduduki pulau-pulau Melanisia barat yang besar (terutama Pulau Papua) yang telah ditempati para penutur bahasa Papua.
  6. Milenia kedua/pertama SM? Pendudukan Austronesia di Vietnam dan Malaya, di kedua wilayah ini bersaingan dengan petani yang telah ada.
  7. Tahun 500 SM dan sesudahnya. Pengenalan dari perunggu dan besi metalurgi kedalam Kepulauan Asia Tenggara. Gendang Dong Don juga diperdangangkan dari Vietnam ke pulau-pulau Sunda meluas dari Sumatra ke Maluku selatan.
Kemungkinan pengenalan metalurgikal yang disebutkan diatas tidak lebih dari efek samping dari sesuatu yang lebih besar lagi, penggabungan bagian-bagian dari Kepulauan Asia Tenggara kedalam sebuah jaringan perdagangan Dunia Lama yang meluas dari Laut Tengah ke Indoneia bagian timur. Barang tembikar India yang berasal dari tahun 200 SM ampai 200 M telah ditemukan di Jawa dan Bali (Ardika and Bellwood 1991), dan pada saat yang sama catatan kepurbakalaan mengungkapkan tingkatan yang belum pernah terjadi sampai saat ini dalam kemiripannya dengan desai tembikar lokal dan pabrikan melewati wilayah yang luah, yang mana termasuk wilayah kawasan pantai dari pulau-pulau Sunda, Borneo, Sulawesi dan Filipina. Adalah hal yang mungkin bila sebagian besar dari asimilasi linguistik dari perbedaan sebelumnya terjadi pada saat ini dan seterusnya, misalnya dengan bahasa Malayic (terutama dengan Melayu Kuno itu sendiri), bahasa Jawa dan kemungkinan bahasa-bahasa yang lain atau sub-sub kelompok (bandingkan Blust 1991 untuk kemungkinan dari beberapa macam tingkatan linguistik di Filipina). Dari tahun 500 M, wilayah Austronesia Barat kemungkinan menjadi daerah wisata dan perdagangan antar pulau yang berkembang secara terus menerus, dengan ketentuan yang ganjil bahwa Taiwa, dimana banyak perkembangan yang penting pernah terjadi sebelumnya, dan kemudian terpecah kedalam pemisahan secara keseluruhan sisa dari Kepulauan Asia Tenggara (Meacham 1984-5). Sungguh sejarah yang membingungkan.

Referensi
Allen, J., C. Gosden and J.P. White
1989 Human Pleistocene adaptations in the tropical island Pacific. Antiquity 63:548-560.
Ammerman, A.J. and L.L. Cavalli-Sforza
1984 The neolithic transition and the genetics of populations in Europe. Princeton: Princeton University Press.
Ardika, I.W. and P. Bellwood
1991 Sembiran: the beginnings of Indian contact with Bali. Antiquity 65:221-232.
Ballard, W.L
1981 Aspects of the linguistic history of south China. Asian Perspectives 24(2):163-186.
Bayard, D.
1975 North China, South China, Southeast Asia, or simply “Far East”. Journal of the Hong Kong Archaeological Society 6:71-79.
Bellwood, P.S.
1980a Plants, climate and people: the early horticultural prehistory of Austronesia. In J.J. Fox (ed.) Indonesia, the making of a culture, pp.57-74. Canberra: Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
1980b The peopling of the Pacific. Scientific American 243(5):74-85.
1984-5 A hypothesis for Austronesian origins. Asian Perspectives 26(1):107-117.
1985 Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Sydney: Academic Press.
1989 Archaeological investigations at Bukit Tengkorak and Segarong, southeastern Sabah. Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 9:122-162.
1990a From late Pleistocene to early Holocene in Sundaland. In C. Gamble and O. Soffer (eds) The world at 18,000 BP, Vol. 2, Low latitudes, pp.255-263. London: Unwin Hyman.
1990b Foraging towards farming. Review of Archaeology 11(2):14-34.
1991 The Austronesian dispersal and the origins of languages. Scientific American 265(1):88-93.
1992 Southeast Asia before history. Chapter 1 in N. Tarling (ed.) The Cambridge history of Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
1993 Cultural and biological differentiation in Peninsular Malaysia: the last 10,000 years. Asian Perspectives 32:37-60.
in press a Hierarchy, founder ideology and the Austronesian expansion. In J.J. Fox and C. Sather (eds) Origin, ancestry and alliance. Canberra: Department of Anthropology and Comparative Austronesian Project, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University.
in press b Prehistoric cultural explanations for widespread language families. In P. McConvell and N. Evans (eds) Understanding ancient Australia: perspectives in archaeology and linguistics. Oxford: Melbourne University Press.
Benedict, P.K.
1975 Austro-Thai language and culture. New Haven: Human Relations Area Files Press.
1976 Austro-Thai and Austro-Asiatic. In P.L. Jenner et al. (eds) Austroasiatic Studies, pp.1-36. Honolulu: University of Hawaii Press.
Blust, R.A.
1984-5 The Austronesian homeland: a linguistic perspective. Asian Perspectives 26(1):45-68.
1991 The greater Philippines hypothesis. Oceanic Linguistics 30(2):73-129.
Chang, K.C.
1977 A new prehistoric ceramic style in the southeastern coastal area of China. Asian Perspectives 20:179-182.
1986 The archaeology of ancient China (4th edition). New Haven: Yale University Press.
1992 Taiwan Strait archaeology and Protoaustronesian. Paper presented to International symposium on Austronesian studies relating to Taiwan, Academia Sinica, Taipei, December 1992.
Diffloth, G.
1979 Aslian languages and Southeast Asian prehistory. Federation Museums Journal 24:3-18.
Flenley, J.R.
1988 Palynological evidence for land use changes in South-East Asia. Journal of Biogeography 15:185-197.
Fox, J.J.
1977 Harvest of the palm. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Friedman, J.
1981 Notes on structure and history in Oceania. Folk 23:275-295.
Golson, J.
1985 Agricultural origins in Southeast Asia: a view from the east. In V.N. Misra and P. Bellwood (eds) Recent advances in Indo-Pacific prehistory, pp.307-314. New Delhi: Oxford and IBH.
Golson. J. and D.S. Gardner
1990 Agriculture and sociopolitical organization in New Guinea Highlands prehistory. Annual Review of Anthropology 19:395-417.
Hayden, B.
1983 Social characteristics of early Austronesian colonizers. Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 4:123-134.
Higham, C.
1989 The archaeology of mainland Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
Irwin, G.
1992 The prehistoric exploration and colonization of the Pacific. Cambridge: Cambridge University Press.
Kirch, P.V.
1988 Long-distance exchange and island colonization: the Lapita case. Norwegian Archaeological Review 21:103-117.
MacNeish, R.
1992 The origins of agriculture and settled life. Norman: University of Oklahoma Press.
Meacham, W.
1984-5 On the improbability of Austronesian origins in South China. Asian Perspectives 26(1):89-106.
Norman, J. and T-L. Mei
1976 The Austroasiatics in ancient south China: some lexical evidence. Monumenta Serica 32:274-301.
Renfrew, C.
1987 Archaeology and language. London: Jonathan Cape.
1992 Archaeology, genetics and linguistic diversity. Man 27:445-478.
Reid, L.R.
1984-5 Benedict’s Austro-Tai hypothesis: an evaluation. Asian Perspectives 26(1):19-34.
1990 The search for original Negrito: Negrito languages as creolized Austronesian. Paper given at 14th IPPA Congress, Yogyakarta, August 1990.
Ruhlen, M.
1987 A guide to the world’s languages. Volume 1: Classification. California: Stanford University Press.
Spriggs, M.
1989 The dating of the island Southeast Asian Neolithic. Antiquity 63:587-612.
Tsang Cheng-hwa
1992 Archaeology of the P’eng-hu Islands. Taipei: Institute of History and Philology, Academia Sinica, Special Publication 95.
Yan Wenming
1991 China’s earliest rice agriculture remains. Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 10:118-126.
1993 The origins of agriculture and animal husbandry in China. In C.M. Aikens and Song Nai Rhee (eds) Pacific Northeast Asia in prehistory, pp.113-123. Pullman: Washington State University Press.
Zorc, R.D.P.
1994 Austronesian culture history through reconstructed vocabulary (an overview). In A. Pawley and M. Ross (eds) Austronesian terminologies: continuity and change, pp.541-594. Pacific Linguistics Series C No. 127. Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University.


Ekskavasi Kubur Tempayan di Lolo Gedang, Kerinci, Jambi


Ekskavasi Kubur Tempayan di Lolo Gedang, Kerinci, Jambi. Photo Oleh: Tohari Achmad
Kubur tempayan dalam khasanah arkeologi Indonesia merupakan kuburan manusia dengan menggunakan wadah tempayan dari tanah liat. Penelitian terdahulu menunjukkan kubur tempayan antara lain ditemukan di Melolo, Nusa Tenggara Timur (Heekern,1956), Lambanapu, Nusa Tenggara Timur (Yuliati,1998), Gilimanuk, Bali (Soejono,1969), Plawangan, Jawa Tengah (Prasetyo,1994), Kunduran dan Muara Betung, Sumatera Selatan (Soeroso,1998), Muara Payang, Sumatera Selatan (Indriastuti,2002), Padang Sepan, Bengkulu (Indriastuti,2003).
Di Jambi kubur tempayan ditemukan di Lebak Bandung, Kota Jambi (Widiatmoko,1997), Renah Kemumu, Merangin (Bonatz,2005; Budisantosa,2006), Lubuk Mentilin, Merangin (Budisantosa,2007), dan Lolo Gedang, Kerinci (Sudaryadi,2007). Di luar Indonesia, kubur tempayan ditemukan di Vietnam dan Filipina.
Lolo Gedang merupakan sebuah desa yang berada sekitar 23 km di sebelah tenggara dari Sungai Penuh, ibukota Kabupaten Kerinci. Di desa Lolo Gedang ditemukan juga benda megalit yang disebut ?batu gong?. Benda megalit berada 1,5 km di sebelah selatan dari kubur tempayan. Juga, ditemukan alat-alat obsidian ?mikrolit? di area perkebunan Belanda yang bernama Danau Gedang Estate (Heekern,1972) dan yang sekarang berubah nama Kebun Baru Lolo.
Baru-baru ini tim penelitian dari Balai Arkeologi Palembang yang dipimpin oleh Tri Marhaeni S. Budisantosa melakukan ekskavasi kubur tempayan di Lolo Gedang. Eksksvasi membuka sepuluh kotak ekskavasi berukuran 2×2 meter. Dalam lima kotak di antaranya ditemukan kubur tempayan. Keadaannya pecah atau retak. Tempayan cenderung rebah atau miring ke arah bawah lereng (timur). Hal itu diduga karena proses alamiah, yaitu gaya tekan tanah dari arah lereng atas ke bawah yang berlangsung secara terus menerus. Namun, tanah yang mengisi tempayan diduga telah berlangsung sejak tempayan ditimbun tanah karena tempayan tidak ditutup. Jadi, yang ditemukan di Lolo Gedang merupakan tempayan tunggal, bukan tempayan sepasang sebagaimana ditemukan di Melolo, Gilimanuk, Plawangan, Kunduran, dan Muara Betung. Kubur tempayan di Lolo Gedang bervariasi dalam hal ukuran, kedalaman, dan artefak yang berada di dalamnya.
Tempayan besar cenderung berada lebih dalam daripada tempayan kecil. Dalam tempayan ditemukan sisa tulang yang telah hancur serta arang. Juga, ditemukan benda bekal kubur berupa wadah tembikar berbentuk buli-buli dan cawan. Sebelumnya penduduk menemukan kendi tanpa cerat dalam tempayan. Dalam tempayan ditemukan satu jenis wadah saja. Benda bekal kubur lainnya adalah benda perunggu berukuran kecil yang diduga liontin karena pada salah satu ujungnya berlobang. Dalam tempayan penduduk juga menemukan miniatur nekara perunggu. Hancuran benda perunggu hampir ditemukan dalam seluruh tempayan yang ditemukan. Jenis benda bekal kubur ketiga yang ditemukan adalah benda bulat seperti koin. Koin tersebut dibuat dari tanah liat hitam halus. Pada sisinya dihias goresan berbentuk bunga mekar berkelopak delapan. Salah satu koin hanya dihias pada satu sisi saja. Benda berbentuk koin hanya ditemukan dalam satu tempayan.
Secara umum kubur tempayan Lolo Gedang memiliki persamaan dengan daerah lainnya di Indonesia. Kubur tempayan di Lolo Gedang tampak perbedaan dalam ukuran, kedalamannnya dalam tanah, dan bekal kubur yang semuanya menunjukkan perbedaan cara penguburan dalam suatu komuniti. Perbedaan tersebut boleh jadi berkaitan dengan umur individu, jenis kelamin, dan status sosialnya. Selain itu, keberadaan bekal kubur menunjukkan kepercayaan adanya kehidupan setelah mati.
* Disarikan dari: sumber

(ed: _soedi)

Seni Terakota (Tanah Liat) Masa Majapahit

Seni Terakota (Tanah Liat) Masa Majapahit

Kerajinan Terakota Majapahit; Museum Trowulan Mojokerto
Jejak sejarah kerajaan Majapahit tersebar pada tinggalan-tinggalannya yang ditemukan di Mojokerto, Jawa Timur.  Ada banyak artefak yang dapat menjelaskan banyak hal termasuk mengenai kehidupan ekonomi masyarakat. Terakota, misalnya, atau kerajinan tanah liat era Majapahit. Seni Terakota adalah satu karakter budaya pada masa Majapahit yang cukup terkenal dan banyak diketemukan. Hasil seni ini diketahui dari tinggala-tinggalan yang diketemukan baik yang berbentuk arca, bak air, jambangan, vas bunga, hiasan atap rumah, genteng, dinding sumur (jobong), kendi, atau celengan.
Trowulan dan sekitarnya yang diasumsikan sebagai situs ibu Kota Kerajaan Majapahit ditemukan jenis-jenis barang yang terbuat dan lempung bakar atau terakota dalam jumlah yang sangat melimpah. Dapat disimpulkan bahwa ketika itu terakota sangat berperan dalam kehidupan penduduk kota. Terakota Majapahit dan Situs Trowulan amat kaya ragamnya, di antaranya seperti unsur bangunan (bata, genteng, jobong sumur, pipa saluran), wadah (periuk, pasu, kendi, tempayan, boneka, vas bunga), ritus religi (sesaji, meterai), dan alat kebutuhan praktis lainnya seperti timbangan, dan lampu (clupak). Sebagian besar terakota ini diduga merupakan buatan setempat karena ditemukan alat produksinya yang berupa pelandas. Selain terakota, di Situs Trowulan banyak ditemukan juga berbagai benda yang terbuat dari bahan logam dan batu seperti genta, guci amerta dan arca, yang telah memiliki nilai seni yang cukup tinggi.
Pada era Majapahit pengetahuan tentang pembuatan barang-barang dari tanah liat bakar diduga dapat diuraikan dengan prinsip yang sangat sederhana, yaitu membuat bentuk atau model dari tanah liat, mengeringkan di bawah sinar matahari, dan membakarnya dalam api. Walaupun prinsipnya sederhana,  berdasarkan pengamatan dapat diketahui, bahwa hasil kesenian terakota dalam berbagai bentuk tersebut tidak mempunyai cacat bawaan yang diakibatkan kurangnya pengetahuan dalam proses pembuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa si pembuat benda seni tersebut
Di Trowulan juga banyak ditemukan miniatur bangunan  terakota, terdiri dari aneka bentuk miniatur ini ada yang menggambarkan bangunan suci (candi) dan ada yang menggambarkan berbagai bentuk bangunan rumah. Dilihat dari bentuk atapnya bangunan rurmah ada yang beratap tajuk, kampung, limasan, dan gonjong. Penutup atap ada yang terbuat dari genteng, sirap, bambu, dan ijuk atau rumbia. Bangunan yang ada dapat dibedakan menjadi bangunan terbuka tanpa dinding serta bangunan yang tertutup.
Salah satu temuan (artefak) terakota dari Situs Trowulan adalah arca binatang yang bagiannya berongga sehingga arca itu nampak sangat gemuk dan digambarkan dengan posisi duduk; pada bagian punggungnya diberi lubang sempit memanjang, Bentuk arca seperti ini mengingatkan kepada ‘celengan’ sebagai tempat/wadah  menabung uang. Selain arca binatang, ‘celengan’ terakota lainnya ada yang berbentuk bulatan biasa seperti ‘bola’ dengan diberi pegangan pada bagian atas dan sedikit hiasan (Muller,1978: 27).
Dalam perkembangannya istilah celengan (babi-babian)
yang berasal dari kata celeng, atau babi hutan
tidak hanya digunakan untuk menyebut kotak uang
dalam bentuk babi, tetapi juga untuk kotak uang dalam bentuk yang lain.
Sejauh ini kotak uang yang ada sebagian besar berbentuk babi yang terbesar berukuran lebih kurang 45 cm dan tingginya 31 cm. Selain itu terdapat sebuah contoh kotak uang berbentuk induk babi yang dikelilingi oleh 4 ekor anaknya. Sampai sekarang di Jawa Timur istilah yang dipakai untuk menyebut kotak uang yang berbentuk babi adalah celengan. Wujud celengan hewan bukanlah tanpa makna. Ini bentuk ekspresif manusia yang menganggap sejumlah binatang menandai simbol tertentu. Wujud babi diyakini sebagai bentuk kemakmuran. (_soedi)