Oleh: Peter Bellwood
2 January 2010
Asal mula rumpun bahasa Austronesia disajikan disini sebagai
contoh dari fenomena berulang dalam dunia prasejarah, yang mana populasi
yang mengembangkan sektor pertanian didalam wilayah yang dilengkapi
oleh keuntungan dalam sektor ekonomi karena dikelilingi oleh kelompok
pemburu. Keuntungan tersebut memungkinkan mereka untuk melakukan
kolonisasi pada wilayah yang luas, dan catatan dari kolonisasi ini
terlihat dalam kepurbakalaan dan catatan linguistik. Pola ekspansi
rumpun bahasa Austronesia dan beberapa faktor utama mempengaruhi
diferensiasi yang lebih lanjut dalam budaya Austronesia telah
diperbincangkan, dimulai dari tahun 4000 SM di Cina Selatan dan Taiwan.
Pertanyaan Tentang Asal Tanah Air
Makalah ini akan dimulai dengan berfokus pada pertanyaan dimanakah
nenek moyang langsung dari Austronesia Inti berasal, dan kapan.
Austronesia Inti adalah kesatuan linguistik yang terhipotesiskan,
kemungkinan bahasa tunggal atau jaringan dialek (lihat Pawley dan Ross
pada buku ini), nenek moyang dari semua rumpun bahasa Austronesia yang
ada. Akan tetapi seperti kebanyakan bahasa, Austronesia Inti mempunyai
seorang leluhur, sebelum kenaikan rumpun bahasa Austronesia sebagai
sebuah taxon linguistik dengan keunikan sejarahnya tersendiri.
Pengamatan relevan bagi pertanyaan ini, salah satu menarik terutama
dalam hal relevansinya bagi dunia prasejarah, apakah wilayah tersebut
adalah tanah air dari banyak rumpun bahasa utama yang mempunyai sejarah
yang panjang akan pertanian nampaknya terhubung secara geografis dengan
daerah asal (yaitu indigenously-generated) pertanian (Bellwood 1990b,
1991, in press b). Di Dunia Lama beberapa rumpun bahasa seperti
Indo-European, Elamo-Dravidian, Afro-Asiatic, Niger-Kordofanian,
Nilo-Saharan, Sino-Tibetan, Austroasiatic, Thai-Kadai (or Daic of Ruhlen
1987) dan Austronesian. Dua rumpun yang pertama , kemungkinan
Afro-Asiatic, mempunyai letak tanah air yang tidak pasti, atau
berbatasan dekat dengan Asia tenggara, dua rumpun yang kedua berasal
dari sub-Saharan Afrika utara dan yang ketiga terakhir (kecuali
Sino-Tibetian) berasal dari Cina tengah dan selatan. Ketiga wilayah
geografis ini dikenal dari data kepurbakalaan yang menjadi saksi akan
perkembangan daerah setempat mengenai penggunaan tanaman dan
hewan-hewan, di setiap kasus sebelum terdapat perkembangan karena campur
tangan wilayah dari Dunia Lama (MacNeish 1992). Dikarenakan korelasi
yang meluas antara pusat awal pertanian dan rumpun bahasa tanah
air (Renfrew 1992), seseorang boleh saja mengusulkan sebuah cara yang
mana secara demografis mengembangkan pupulasi pertanian yang bergerak
keluar dari wilayah pertanian yang sebelumnya, kemungkinan pelan namun
pasti tidak dapat dihindari kalau tanah jajahan sebelumnya telah
ditempati oleh pemburu (sebagai mana yang diusulkan untuk Eropa oleh
Ammerman and Cavalli-Sforza 1984; Renfrew 1987).
Apabila seseorang memeriksa distribusi geografis pada rumpun bahasa
utama ini dan geografi perbedaan antara mereka, akan terlihat bahwa
wilayah dari asal pertanian menyatakan bahwa keduanya memeliki jumlah
yang lebih besar dari jumlah rata-rata rumpn bahasa yang berbeda dan
tingkat tinggi dari perbedaan rumpun bahasa internal, sebagaimana
terlihat oleh kedekatan sub-sub kelompok yang mempunyai sejarah panjang
akan pemisahan. Adalah benar untuk tiga wilayah yang disebutkan ini,
juga untuk bagian wilayah agraris di Meksiko Tengah, Andes Utara di Peru
dan Ekuador dan Pulau Papua.
Secara langsung berhubungan dengan buku ini, rumpun bahasa
Austronesia, Thai-Kadai, Hmong-Mien dan rumpun bahasa Austroasiatic
nampaknya muncul oleh proses pemisahan diluar Cina Selatan subtropis dan
Daratan Utara Asia Tenggara, sebuah zona yang terletak di antara Yangzi
dam Thailand Utara/Indocina, yang dimana penanaman beras dan tanaman
pertanian lainnya dikembangkan dengan luas antara tahun 6000 dan 3000
SM. Beberapa dari rumpun bahasa Papua di Pulau Papua juga terkait dengan
pusat awal pertanian, meskipun dalam hal ini hasil yang terlihat
merupakan perlindungan populasi dan pertambahan ditempat asal
dibandingkan perpisahan yang sebenarnya kedalam wilayah-wilayah baru.
“Revolusi” Neilotik Cina terjadi pada dua wilayah yang terhubung
secara budaya. Yang pertama, terletak di Sungai Kuning, yang mendorong
penyebaran milet rumput rubah dan jewawut pada tahun 6000 SM. Kedua, di
Yangzin bagian Tengah dan Bawah, mendorong penyebaran beras pada kisaran
waktu yang sama (Yan 1991). Meskipun para ahli ilmu purbakala dari Cina
ini cenderung beranggapan bahwa Sungan Kuning dan Yangzi ini sebagai
faktor pendorong budaya Neolitik secara tidak langsung, kita perlu
melihat kepada Cina bagian Tengah dan Timur sebagai pusat tunggal dari
awal perkembangan angin musim pertanian di Asia.
Baik beras dan milet ekor rubah telah ditemukan di Cina pada awal
masa Neolitik pada gudang penyimpanan dan tempat tinggal, dalam jumlah
yang cukup banyak untuk menyatakan bahwa beras dan milet dengan cepat
menjadi pangan pokok utama. Ada sedikit keraguan bahwa mereka akan
memicu kenaikan jumlah penduduk yang mungkin cukup cepat, dengan
munculnya bukti kepurbakalaan dari budaya Neolitik tertua melewati
daratan luas Cina sekitar tahun 5000 SM (Chang 1986). Salah satu
akibatnya adalah ekspansi keluar dari populasi tersebut melibatkan
wilayah yang sampai sekarang dihuni oleh pemburu.
Dari tahun 5000 SM, perkampungan para petani padi berada di dibawah
baris pantai sebelah timur Cina sampai Guangdong selatan, dan sekitar
tahun 4000 SM di Vietnam utara dan Thailand. Dalam peninggalan arkeologi
mereka ditemukan kumpulan artefak yang meninggalkan keyakinan tentang
dampak hebat akan gaya hidup yang baru. Sebagai contoh, pedesaan rumah
bertiang yang berumur 7000 tahun, berada dipantai selatan Teluk Hangzhou
di Propinsi Zhejiang, telah menghasilkan barang tembikar, batu kampak,
alat pertanian dari kayu dan tulang, bukti-bukti dari pertukangan kayu
dan pembangunan kapal, dayung, gelungan spindel untuk menenun, tikar,
tali, dan beras dalam jumlah yang besar. Sebagai tambahan, situs
tersebut menghasilkan tulang belulang dari babi, anjing, ayam, hewan
ternak dan kerbau air yang diternakan. Adalah permukiman desa yang besar
dan penggunaan alat-alat yang mendasar dan perubahan yang drastis pada
gaya hidup berburu makanan dengan berpindah tempat dari Masa Akhir
Paleolitik Asia Timur. Penduduk dari Hemudu dan permukiman pertanian
orang-orang Cina tinggal selama peristiwa evolusi budaya yang pada
akhirnya memberikan reaksi pada keseluruhan Asia timur yang berhawa
sedang dan tropis dan juga Pasifik. Salat satu dari sekian reaksi ini,
sekalipun seseorang yang mengembangkan daya momentum pertama seribu
kilometer atau bagian selatan Hemudu, adalah ekspansi yang paling
fenomenal dari para penutur bahasa Austronesia.
Pola dari Ekspansi Austronesia
Adalah perlu untuk kembali lagi pada bukti-bukti linguistik untuk
merencanakan sumbu geografis dari ekspansi penutur bahasa Austronesia
awal. Dimulai dengan tingkat Pre-Austronesia, jumlah klaim yang telah
dibuat untuk hubungan genetik kepurbakalaan antara bahasa Austronesia
dan rumpun bahasa Asia lainnya (lihat catatan kaki 1). Mungkin yang
paling dikenal dari klaim berikut adalah hipotesa Austro-Tai dari Paul
Benedict (1975; Reid 1984-5), yang menyatakan bahwa rumpun bahasa
Tai-Kadai dan Austronesia pernah membagi bahasa nenek moyang bersama
atau rantai bahasa yang dipakai di daratan Cina selatan. Benedict telah
mengusulkan sejumlah rekonstruksi kosa kata yang penting untuk bahasa
nenek moyang ini, termasuk istilah untuk lahan, lahan basah (untuk padi
atau talas), kebun, padi, tebu, hewan ternak, kerbau air, kapak, dan
perahu kano. Tumpang tindih diantara daftar ini dan yang telah
disebutkan diatas untuk Hemudu dan situs-situs di kawasan pantai Cina
selatan membutuhkan sedikit perhatian. Seseorang harus memikirkan dengan
serius akan kemungkinan bahwa ekspansi pertama dari bahasa Austronesia
dan Tai-Kadai (kemungkinan juga Austrosiatic) dimulai antara komunitas
penanam padi Neolitik di Cina, Yangzi Selatan. Catatan kepurbakalaan
sangat setuju dan menyediakan cakupan penanggalan untuk perkembangan
yang pertama sekitar pada tahun 5000 dan 4000 SM.
Bergerak melewati Austro- Tai kedalam rumpun bahasa Austronesia
dengan baik, rekonstruksi dari pra sejarah linguistik yang mana
digunakan secara luas pada saat ini, digagaskan oleh Robert Blust
(1984-5). Hal tersebut berdasar pada diagram silsilah sub-sub kelompok
dan hirarki dari bahasa inti yang meluas dari Austronesia Inti (PAn)
yang bergerak dari waktu ke waktu. Berkurang dari sifat-sifat dasarnya,
rekonstruksi milik Blust mendorong perluasan secara geografis dimulai
dari Taiwan (asal dari bahasa Austronesia yang tertua, termasuk PAn),
kemudian mencakup Filipina, Borneo dan Sulawesi, yang akhirnya terbagi
kedalam dua cabang, cabang yang satu bergerak ke arah barat menuju Jawa,
Sumatra dan Malaya, cabang yang kedua bergerak ke arah timur menuju
Oseania (lihat Darrel Tyron untuk ikhtisar yang lebih lengkap didalam
buku ini).
Kekayaan dari rincian linguistik dapat ditambahkan kedalam kerangka
ini, tapi saya akan membatasi diri saya sendiri untuk beberapa implikasi
dari sejarah keseluruhan dan kebudayaan yang penting. Selama masa
linguistik sebelum perpecahan dari Austronesia Inti (Pan) terlihat bahwa
beberapa penjajah dengan ekonomi pertanian bergerak melewati Selat
Formosa dari tanah daratan Cina ke arah Taiwan (Bellwood 1984-5, 1992).
Disini berkembang bahasa Austronesia Pertama, dan setelah berabad-abad
beberapa penutur bahasa ini membuat pergerakan pertama meraka ke arah
Luzon dan Filipina. Pergerakan ini mendorong pembelahan dari rumpun
bahasa Austronesia kedalam dua sub kelompok utama, Formosan dan
Melayu-Polinesia (atau Ekstra-Formosan). Koka kata Pan yang
terekonstruksi, yang berhubungan dengan tahap awal Taiwan-Luzon,
menunjukan perekonomian yang cocok dengan garis lintang tropis dengan
penanaman padi, milet, tebu, penjinakan anjing dan babi, dan penggunaan
macam-macam perahu.
Sebagai hasil dari pergerakan kolonisasi yang lebih lanjut melalui
Filipina ke arah Borneo, Sulawesi dan Maluku, sub kelompok rumpun bahasa
Melayu-Polinesia (MP) dengan cepat terpisah kedalam beberapa cabang
Barat dan Timur-Tengah tingkat rendah. Perpecahan dari bahasa Bahasa
Malayo-Polinesia Tengah-Timur kemungkinan pada awalnya terjadi di Maluku
dan Bahasa Malayo-Polinesia Timur mengandung semua bahasa Austronesia
dari Kepulauan Pasifik terpisah dengan yang lainnya di Micronesia barat.
Pembendaharaan kata dari Bahasa Malayo-Polinesia Inti (PMP), kesatuan
linguistik yang kemungkinan berada disuatu daerah di Filipina, merupakan
daya tarik yang besar karena berisi sejumlah penunjuk ekonomi tropis
yang tidak berada pada masa bahasa Austronesia Inti sebelumnya. Menurut
Blust (1984-5), hal initermasuk talas Colocasia, buah sukun, pisang, ubi
rambat, sagu dan kelapa. Keberadaan mereka mencerminkan akan
penggantian padi, tanaman yang pada awalnya beradaptasi dengan garis
lintang sub tropis, kearah ketergantungan yang besar akan akar umbi dan
buah-buahan di daerah garis katulistiwa (Bellwood 1980a, 1985).
Pembendaharaan kata Bahasa Malayo-Polinesia Inti juga mmepunya istilah
untuk barang tembikar, pelayaran kano dan beberapa komponen dari
perumahan kayu yang kuat (Zorc 1994).
Dapat dipertanyakan bagaimana catatan kepurbakalaan terhubung dengan
rekonstruksi ini pada arah dan komponen budaya dari ekspansi
Austronesia. Budaya kepurbakalaan tertentu tidak dapat disamakan secara
logika dengan bahasa nenek moyang di dalam masa prasejarah. Bagaimanapun
juga, keberadaan dari komponen teknologi dan ekonomi bahasa Austronesia
Inti dan Malayo-Polinesia Inti dapat dicari untuk keuntungan dalam
catatan kepurbakalaan didalam wilayah yang saat ini ditempati oleh
penutur bahasa Austronesia. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya,
adalah kesimpulan yang pantas bahwa baik kedua bahasa Austronesia Inti
dan Malayo-Polinesia Inti menggambarkan masyarakat pertanian yang
diantaranya menanam pasi, membuat belanga, hidup dalam rumah yang kuat
dan beternak babi. Seperti yang terjadi, bukti langsung untuk semua hal
ini bertahan dalam catatan kepurbakalaan di kepulauan Asia Tenggara, dan
semuanya pertama kali mumcul dalam penggalian situs yang tersebar luas
sekitar tahun 4000 dan 1500 SM. Selanjutnya, kemunculan mereka (terutama
barang tembikar) menunjukan perkembangan masa -yang paling awal di
wilayah utara Cina, Taiwan dan Luzon dan kemudian bergerak kearah
selatan menuju Indonesia katulistiwa dan Oseania barat (Spriggs 1989).
Memberikan perkiraan hubungan antara linguistik dan catatan
kepurbakalaan (Bellwood 1985), kita dapat berhipotesa mengenai sebuah
perkumpulan langsung dengan perpecahan dari penutur bahasa Austronesia,
dibandingkan perpecahan dari materi-materi budaya ini dikarenakan oleh
penyebaran saja.
Catatan kepurbakalaan Neolitik di Taiwan dimulai pada sekitar tahun
3000-4000 SM dengan perkumpulan kepurbakalaan di Cina selatan,
kemungkinan awalnya dibawa oleh kelompok-kelompok kecil dari penetap
agraris melewati Selat Formosa dari Fujian (Tsang 1992). Sifat khusus
artefak dari situs tertua termasuk tembikar berpola tali temali, kapak
batu asah dan penunjuk tombak tulis. Barang-barang lainnya seperti pisau
panen tulis dan poros putar pembakar tanah liat (untuk memutar atau
menenun) kemungkinan tiba sedikit lebih lama. Dari tahun 3000 SM di
Taiwan terdapat bukti untuk beras dan dari catatan serbuk sari,
pembersihan hutan pedalaman untuk bercocok tanam.
Antara tahun 2500 dan 1500 SM kumpulan barang kepurbakalaan dengan
pola tembikar polos atau bersarung merah, dibandingkan tipe tali temali
Taiwan yang lebih tua, muncul di kawasan pantai dan wilayah pedalaman
baik di Filipina, Sulawesi, Borneo utara, Halmahera dan (dengan ternak
babi) sepanjang Timor tenggara. Tidak satupun situs pada periode ini
yang telah dilaporkan dari pulau-pulau besar di Indonesia barat, tapi
penelitian dari sejarah serbuk sari di pegunungan Jawa barat dan Sumatra
menunjukan bahwa beberapa pembersihan hutan yang cukup intensip untuk
lahan pertanian berlangsung setidaknya tahun 2000 SM, atau lebih awal
(Flenley 1988). Di dalam garis lintang khatulistiwa di Indonesea
terdapat perubahan dari penanaman padi kearah ketergantungan yang lebih
besar pada buah-buahan tropis dan akar umbi yang disusun di atas untuk
kosa kata Malayo Polinesia Inti. Biji-bijian tidak pernah diperkenalkan
kedalam Kepulauan pasifik, dengan pengecualian pada padi di Marianas.
Dari tahun 1500 SM, oleh karena itu koloni agraris telah menyebar
dari Taiwan ke perbatasan barat Melanisia. Ekspansi yang berlanjut
melalui Melanisia kedalam Polinesia barat, ditunjukan oleh budaya
Lapita, terlihat lebih cepat dibandingkan pergerakan sebelumnya, mungkin
dikarenakan produksi makanan (sebagai lawan dari pemburu semata)
populasi penutur bahasa Papua sebelumnya telah menempati sejumlah
wilayah kawasan pantai dari pulau-pulau besar di Pulau Papua, Bismarck
dan Solomon. Barang tembikar Lapita yang dihias dengan sempurna
ditemukan di situs lepas pantai dari barat Badan Kelautan sampai Samoa
timur, berjarak sekitar 5000 kilometer (lihat bab selanjutnya). Ekspansi
Lapita ini terjadi antara tahun 1600 dan 1000 SM dan melibatkan Solomon
utara dan timur, untuk periode lanjutan yang pertama dalam prasejarah
Austronesia, pemukiman dari pulau tak berpenghuni sebelumnya. Antara
tahun 1000 SM dan 1000 M, pemukiman dari wilayah tak berpenghuni ini
berlanjut sejak itu dan seterusnya (Irwin 1992), akhirnya untuk
menggabungkan keseluruhan pulau Polinesia dan Micronesia dan pada sisi
lain dunia, Madagaskar (Peta 1).
Mengapa Ekspansi Terjadi?
Pokok utama dari catatan linguistik dan kepurbakalaan, yang
berhubungan pada awal perpisahan rumpun bahasa Austronesia, dan
penyebabnya, saat ini dapat disimpulkan. Para penjajah pertanian
pengguna bahasa Austronesia mengalami ekspansi yang terus-menerus
(Walaupun terbagi dalam masa yang ditandai dengan pergerakan yang
cepat), lebih dari satu period dari sekitar 4000 tahun, dari wilayah
pusat agraris di Cina selatan melalua ribuan kilometer garis pantai dan
melewati jurang lautan yang luas di arah timur kedalam Pasifik. Ekspansi
ini, yang terlihat mengabaikan pedalaman pulau pada masa-masa awalnya,
bertemu dengan perlawanan budaya yang kuat hanya dalam wilayah yang
memiliki sejarah pertanian sebelumnya, hal ini terbatas pasa daratan
Asia Tenggara dan Melanisia Barat, wilayah berikutnya adalah menjadi
satu dimana ilmu purbakala telah mengindikasi keberadaan dari
perkembangan pertanian bebas sebelumnya (Golson 1985; Golson dan Gardner
1990).
Angka yang mana pada masa awal penjajahan Austronesia terjadi,
menjadi yang paling pesat dalam catatan dunia agraris prasejarah,
meskipun tidak dapat disangkal kebanyakan dari mereka melewati lautan
daripada kedalam massa tanah pengisap yang besar. Kemungkinan tidak
disebabkan hanya dengan kepercayaan yang berlebih pada pengolahan tanah
kosong, sebuah penjelasan yang telah saya dukung pada masa lalu
(Bellwood 1980b), tapi dengan sejumlah stimulus yang berneda. Hal ini
termasuk, susunan berikut:
- Pertumbuhan penduduk yang berkelanjutan berdasar pada
persediaan pangan pertanian, membiarkan “kenaikan” generasi ke
generasi yang berlanjut dari keluarga yang baru kedalam daerah yang
baru (bandingkan Ammerman dan Cavalli-Sforza 1984 untuk contoh
Eropa);
- Transportability yang melekat dan reproduktifitas ekonomi
pertanian untuk mendukung penjajah propagules, terutama pada miskin
sumber daya pulau-pulau kecil;
- Tersedianya “zona perbatasan” yang dalam dan menyerap untuk
daerah jajahan, berbatasan dengan wilayah perkembangan pertanian
Austronesia awal, ditempati oleh populasi pemburu (dengan kata lain
Taiwan dan Filipina pada masa awal ekspansi), yang kebanyakan
orang akan menunjukan ketertarikan yang sedikit dalam mengadopsi
penghematan agraris yang sistematis untuk diri mereka sendiri
(Bellwood 1990b, 1991);
Peta 1: Perkiraan penanggalan dari awal kolonisasi Austronesia
- Tradisi yang berkembang dari konstruksi pelayaran kano dan navigasi (lihat Adrian Horridge dalam buku ini)
- Kegemaran akan pergerakan lintas pantai dan eksploraso,
kemungkinan untuk menemukan lingkungan yang paling baik untuk
pertanian dan tambak, hingga mempromosikan pola kolonisasi dari
pendudukan kisaran luas berikut, seringkali hanya beberapa abad
kemudian, dengan perantara wilayah.
- Keingginan yang secara budaya di perbolehkan untuk menemukan
permukiman yang baru untuk menjadi orang yang dipuja atau menjadi
leluhur yang didewakan oleh generasi di masa datang (barangkali hal
ini menyangkut perserikatan dengan proses penjajahan itu sendiri
-lihat Bellwood, dalam pers a);
- Keinginan untuk menemukan sumber baru dari bahan mentah sebagai
“barang berharga” untuk jaringan pertukaran (Friedman 1981; Hayden
1983; Kirch 1988).
Tidak semua dari faktor pendorong ini hadir sebelum proses ekspansi
Austronesia dimulai;yang tertulis pada (4) dan (6) secara khusus
tersusun dalam bagian sebagai hasil dari prosesnya sendiri, seperti (7)
apakah itu arti besar sebagai badan penjajahan (yang saya ragu; Bellwood
in press a). Namun, kecurigaan saya bahwa keran-akar dari proses
ekspansi, sebuah
sine qua non, adalah milik sistematis ekonomi pertanian mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang berkesinambungan.
Para skeptik di sini mungkin bertanya mengapa, mengapa pertumbuhan
penduduk pertanian begitu penting, semua bangsa pertanian awal tidak
hanya memperluas dengan cara ini. Aku akan menjawab bahwa mungkin
sebagian besar dari mereka melakukannya, dan ini menjadi sangat
signifikan jika orang memandang bahwa pertanian awal adalah pembangunan
biasa dalam bentuk primer (yaitu sebagai hasil evolusi murni lokal dari
budaya mencari makan pribumi basis), terbatas untuk beberapa wilayah
dan tanaman / hewan di wilayah Afrika tengah, barat daya Asia, Cina,
Pulau Papua, Mesoamerica, dan Andes utara, Sungai Mississippi. Seperti
telah saya catat, ini mungkin ekspansi awal ini, tengah menjamur di
penduduk ringan, sehat dan kaya sumber daya alam dunia, yang meletakkan
dasar distribusi dari banyak rumpun bahasa utama pada Dunia Lama saat
ini.
Transformasi
Rumpun bahasa Austronesia awal memulai karir ethnolinguistik mereka
di kawasan pantai sub tropis dan penduduk digaris pantai dengan
perekonomian Neolitik berdasar pada biji-bijian dan penanaman akar umbi
dan peternakan hewan. Keturunan etnografi mereka di pulau Asia tenggara
berhasil menciptakan ekonomi subsisten yang lebih luas, termasuk hutan
tempat mencari makan dan koleksi-untuk-perdagangan; kelautan (lihat
Sather, buku ini); bentuk irigasi dan budidaya padi sawah tadah hujan
yang bermacam-macam; perpindahan tanaman ke biji-bijian, buah-buahan dan
umbi-umbian, dan bahkan eksploitasi sawit (Fox 1977). Penyebab
transformasi tertentu hanya dapat dihipotesiskan, namun hipotesis
seperti itu tidak akan berjalan terlalu jauh, kecuali jika diakui bahwa
awal Sebuah koloni dan keturunan mereka pasti telah dipengaruhi oleh dua
jenis bentang alam , lingkungan
dan manusia.
Dalam hal faktor lingkungan, maka ekspansi Austronesia tidak akan
pernah mulai sama sekali apabila peserta awal tidak dapat menyeberangi
jurang sekitar 120 km antara China dan Taiwan, dan antara Taiwan dan
Kepulauan Batan. Zorc (1994) baru-baru ini menunjukkan betapa sulitnya
untuk merekonstruksi istilah untuk kapal dan navigasi untuk
Proto-Austronesia (sebagai lawan dari Proto-Malayo-Polynesia) dan dia
menyatakan bahwa kebanyakan istilah pelayaran mungkin telah hilang di
Taiwan, disebabkan oleh pengaruh yang besar dari pendudukan Cina di
kawasan pantai. Jika demikian, kosa kata Proto-Austronesia akan pernah
memiliki lebih banyak istilah pelaut ketimbang sekarang. Oleh karena
itu, tempat yang cocok untuk mencari bukti arkeologi dari perubahan
kontruksi kapal dan navigasi mungkin di antara ratusan pulau-pulau kecil
yang mengapit pantai Zhejiang dan Provinsi Fujian. Setahu saya
pulau-pulau ini memiliki beberapa peninggalan kepurbakalaan, terlepas
dari milenia kelima SM kumpulan tembikar dari Fuguodun shellmound di
Quemoy (Chang 1977; lihat juga Chang 1992 untuk update terbaru). Akan
tetapi, apabila penduduk Austronesia membutuhkan “nursery” bahari,
mungkin akan tersedia.
Faktor lingkungan kedua yang mempengaruhi hasil dari ekspansi rumpun
bahasa Austronesia adalah perubahan setahap demi setahap dari iklim
sob-tropis musiman kedalam iklim khatulistiwa basah seraya para penjajah
bergerak ke arah selatan dari Taiwan dan Filipina menuju Khatulistiwa.
Tentu saja, pemukiman Jawa dan tenggara Austronesians Indonesia
ditempatkan kembali ke dalam wilayah ber-iklim musiman mencolok. Tapi
tepat di pulau-pulau khatulistiwa – Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
Tengah, Halmahera – kondisi iklim yang berlaku mungkin menyebabkan
ketergantungan perekonomian pada umbi-umbian dan buah-buahan utama
daripada biji-bijian, beras dan millet. Saya telah menyatakan hal ini
sebelumnya di beberapa terbitan buku (misalnya Bellwood 1980a, 1985) dan
tidak melihat adanya alasan untuk mengubah pandangan-pandangan saya,
yang menawarkan penjelasan yang mudah mengapa sereal seharusnya sudah
tidak ada di luar ekonomi Kelautan Mikronesia barat; bagian utara
terusan Pulau Papua ke Oseania sepenuhnya khatulistiwa.
Mengenai bentang alam manusia sebelumnya yang sekarang adalah
Austronesia barat yang menarik dan beragam pola dapat direkonstruksi.
Sebagian besar dari Pulau Asia Tenggara mungkin dihuni oleh pemburu pada
masa pra-Austronesia dan di hutan hujan di Paparan Sunda di sana
mungkin hanya terdapat sedikit pemukiman, kebanyakan difokuskan di
kawasan pesisir, banyak dari mereka yang saat ini berada di bawah
permukaan laut dikarenakan es postglacial yang mencair (Bellwood 1990a).
Populasi yang lebih padat berada di wilayah musiman di pulau Jawa,
Sunda Kecil dan Filipina tengah dan utara, seperti yang disaksikan di
Filipina dengan adanya pemburu dari Agta yang fisiknya relatip mirip
dengan orang Melanisia (walaupun saat ini adalah penutur bahasa
Austronesia; Reid 1990) hingga saat ini. Bahkan, untuk mendiami pulau
Wallacean (Filipina, Sulawesi, Lesser Tenggara, Maluku), sebagaimana
juga Australia dan New Guinea, kolonis Pleistosen asli harus memiliki
tingkatan kapasitas pelaut, meskipun belum sempurna, oleh
sekurang-kurangnya 40.000 tahun yang lalu . Apakah Austronesians
mempelajari sejumlah keterampilan pelaut dari mereka, mungkin bersamaan
dengan penggunaan sejumlah tanaman khatulistiwa seperti sukun dan
kelapa, Yang pertama kali muncul dalam sejarah linguistik bahasa
Austronesia dalam kosa kata Malayo-Polinesia Inti? Sebelumnya saya sudah
menunjuk pada penelitian Zorc yang hanya sedikit istilah dalam bidang
pelayarannya yang dapat direkonstruksi kedalam Austronesia Inti.
Meskipun kurang bijaksana untuk menyangkal ilmu pengetahuan
Proto-Austronesians setidaknya dibidang kano, pantas diingat bahwa
banyak dari awal ekspansi dari masyarakat berbahasa Austronesia adalah
melalui Wallacea, terutama Filipina dan Sulawesi dengan kepulauan
gandaan satelit mereka.
Diantaranya topografi Pleistosen Akhir Wallacea yang lebih berair,
bukannya jembatan tanah Paparan Sunda, bahwa orang mungkin mengharapkan
pra-Austronesia memiliki tradisi maritim berkembang dan telah
ditransmisikan untuk kemudian pendatang (Irwin 1992).
Diluar Kepulauan Asia Tenggara, rumpun bahasa Austronesia awal
bertemu dengan perlawanan budaya yang kuat, baik di barat dan timur.
Sebuah dunia yang tentunya berbeda menanti para penjajah di Kepulauan
Pasifik melewati Solomon – kosong dan mengundang, sama sekali tanpa
penduduk pre-Austronesia (lihat bab berikut)
Catatan kepurbakalaan menjelaskan bahwa populasi dari Neolitik
menempati keseluruhan wilayah dari Daratan Asia Tenggara, termasuk
Semenanjung Malaysia, setidaknya pada tahun 2000 SM (Higham 1989;
Bellwood 1993). Persamaan kepurbakalaan yang relevan dengan semua
budaya, terletak didalam wilayah daratan itu sendiri, bukannya melewati
pulau-pulau; mungkindapat dihipotesiskan bahwa mayoritas populasi
pertanian dari Thailand, Indochina dan Semenanjung Malaysia saat ini
menggunakan bahasa yang terkait erat dengan rumpun bahasa Austroasiatic
moderen. Di Vietnam selatan leluhur dari penduduk yang menggunakan
bahasa Austronesian Chamic mungkin telah memaksa masuk ke dalam bentang
alam yang sudah cukup padat dihuni oleh petani yang sudah ada
sebelumnya. Ekspansi Austronesia ke Semenanjung Malaysia terjadi lama
setelah ekspansi dari petani Austronesia (awal Aslian penutur bahasa) ke
arah selatan dari Thailand pada milenium ketiga SM. Tentu saja para
petani penutur bahasa Austroasiatic mungkin awalnya telah mendiami
daerah jajahan yang dengan cepat ke dalam bagian Sumatra dan Borneo
barat, bila seseorang memandang dengan luas akan bukti serbuk sari dan
sejumlah petunjuk dasar linguistik (lihat Adelaar, buku ini.) Keberadaan
awal dari populasi pertanian tersebut setidaknya Malaya dan Vietnam
bisa menjelaskan mengapa daratan Asia Tenggara hanyalah sebuah wilayah
permukiman prasejarah Austronesia yang kecil, seperti, di bawah keadaan
yang agak berbeda budayanya, seperti New Guinea.
Seperti di daratan Asia Tenggara, Pulau Papua dan Melanisia barat,
penduduk baru Austronesia juga menemukan sebuah perlawanan yang kuat –
secara biologis, budaya dan bahasa. Keberadaan dari perkembangan
pertanian utama di Pulau Papua tidak dapat diragukan lagi, bahkan jika
tidak jelas berfokus dimana (dataran tinggi atau pantai?) Dan persis
bagaimana ekonomi yang berpartisipasi berfungsi (Golson dan Gardner
1990). Budidaya tanaman, terutama talas , sangat mungkin, tetapi banyak
populasi pantai mungkin telah mengangkat mereka ke luar kepadatan
populasi tingkat tahan oleh bentuk-bentuk lain dari eksploitasi pohon
(sagu dan
Canarium) atau pertukaran bahan makanan. Banyak dari
orang-orang ini, seperti sepupu Wallacean mereka, juga tahu bagaimana
untuk menyeberang laut, seperti yang disaksikan oleh Pleistosen
Akhir,penemuan dan distribusi dari bebatuan Britania Baru (Allen
et al.
1989). Namun, keterampilan pelaut mereka mungkin lebih terbatas
daripada yang dari pemukim Austronesia mendatang, pada sekitar 1000 SM,
mampu menjajah Polinesia jauh ke barat dan berdagang bebatuan Talasea
dari Britania Baru melintasi jarak 6.500 kilometer dari utara Kalimantan
di barat ke Fiji di sebelah timur (Bellwood 1989). Inilah yang mungkin
membuat bebatuan Talasea menjadi komoditas yang diperdagangkan paling
jauh pada masa Neolitik.
Beberapa Generalisasi Akhir
Dapat saya gambarkan dengan singkat, beberapa perubahan utama yang
saya percaya bahwa masyarakat prasejarah Austronesia melalui Kepulauan
Asia Tenggara sekitar tahun 4000 SM dan 1 M
- Tahun 4000-3500 SM; Ekspansi Austronesia yang pertama;tanaman biji-bijian dan pertanian akar umbi, pelayaran terbatas.
- Tahun 3000 SM; Ekspansi Austronesia Inti ke Filipina
utara;kemajuan dari teknologi pelayaran, perubahan gaya dari corak
tali menjadi polos atau tembikar bersarung merah.
- Akhir milenium ketiga dan milenium kedua SM;perpecahan
Malayo-Polinesia Inti dari Filipina selatan ke Borneo, Sulawesi dan
Maluku; pesona buah-buahan katulistiwa dan produksi akar umbi
biji-bijian sebagai lawan, kecuali didaerah yang paling selatan dan
pulau-pulau yang beriklim musiman seperti Jawa yang dimana padi adalah
sumber makanan utama. Satu peningkatan dari ketertarikan yang besar
mungkin terjadi pada saat ini bisa jadi adalah permulaan dari
penyesuaian para pemburu terhadap hutan hujan di Borneo dan Sumatra
(lihat Sather, pada buku ini).
- Milenia pertama/kedua? Dimulai dengan perubahan pergerakan
bahari (penggembara laut inti?) disekitar Sulu dan Lautan Sulawesi
(bandingkan Bellwood 1989 untuk ekonomi bahari dengan pertukaran
jarak-jauh di Bungkit Tengkorak, Sabah sekitar tahun 1000 SM), dan
kemungkinan ditempat yang lain. Hal ini, pada gilirannya kemungkinan
telah memerintahkan beberapa dasar pelayarannya.
- Pertengahan dan akhir milenia ke dua SM;kolonisasi Lapita di
Remote Oseania sampai sepanjang Tonga dan Samoa. Keterampilay
berlayar dikembangkan pada masa ini untuk pulau-pulau tak
berpenghuni, tetapi dengan sedikitnya peluang untuk menduduki
pulau-pulau Melanisia barat yang besar (terutama Pulau Papua) yang telah
ditempati para penutur bahasa Papua.
- Milenia kedua/pertama SM? Pendudukan Austronesia di Vietnam dan
Malaya, di kedua wilayah ini bersaingan dengan petani yang telah
ada.
- Tahun 500 SM dan sesudahnya. Pengenalan dari perunggu dan besi
metalurgi kedalam Kepulauan Asia Tenggara. Gendang Dong Don juga
diperdangangkan dari Vietnam ke pulau-pulau Sunda meluas dari
Sumatra ke Maluku selatan.
Kemungkinan pengenalan metalurgikal yang disebutkan diatas tidak
lebih dari efek samping dari sesuatu yang lebih besar lagi, penggabungan
bagian-bagian dari Kepulauan Asia Tenggara kedalam sebuah jaringan
perdagangan Dunia Lama yang meluas dari Laut Tengah ke Indoneia bagian
timur. Barang tembikar India yang berasal dari tahun 200 SM ampai 200 M
telah ditemukan di Jawa dan Bali (Ardika and Bellwood 1991), dan pada
saat yang sama catatan kepurbakalaan mengungkapkan tingkatan yang belum
pernah terjadi sampai saat ini dalam kemiripannya dengan desai tembikar
lokal dan pabrikan melewati wilayah yang luah, yang mana termasuk
wilayah kawasan pantai dari pulau-pulau Sunda, Borneo, Sulawesi dan
Filipina. Adalah hal yang mungkin bila sebagian besar dari asimilasi
linguistik dari perbedaan sebelumnya terjadi pada saat ini dan
seterusnya, misalnya dengan bahasa Malayic (terutama dengan Melayu Kuno
itu sendiri), bahasa Jawa dan kemungkinan bahasa-bahasa yang lain atau
sub-sub kelompok (bandingkan Blust 1991 untuk kemungkinan dari beberapa
macam tingkatan linguistik di Filipina). Dari tahun 500 M, wilayah
Austronesia Barat kemungkinan menjadi daerah wisata dan perdagangan
antar pulau yang berkembang secara terus menerus, dengan ketentuan yang
ganjil bahwa Taiwa, dimana banyak perkembangan yang penting pernah
terjadi sebelumnya, dan kemudian terpecah kedalam pemisahan secara
keseluruhan sisa dari Kepulauan Asia Tenggara (Meacham 1984-5). Sungguh
sejarah yang membingungkan.
Referensi
Allen, J., C. Gosden and J.P. White
1989 Human Pleistocene adaptations in the tropical island Pacific.
Antiquity 63:548-560.
Ammerman, A.J. and L.L. Cavalli-Sforza
1984
The neolithic transition and the genetics of populations in Europe. Princeton: Princeton University Press.
Ardika, I.W. and P. Bellwood
1991 Sembiran: the beginnings of Indian contact with Bali.
Antiquity 65:221-232.
Ballard, W.L
1981 Aspects of the linguistic history of south China.
Asian Perspectives 24(2):163-186.
Bayard, D.
1975 North China, South China, Southeast Asia, or simply “Far East”.
Journal of the Hong Kong Archaeological Society 6:71-79.
Bellwood, P.S.
1980a Plants, climate and people: the early horticultural prehistory of Austronesia. In J.J. Fox (ed.)
Indonesia, the making of a culture, pp.57-74. Canberra: Research School of Pacific Studies, The Australian National University.
1980b The peopling of the Pacific.
Scientific American 243(5):74-85.
1984-5 A hypothesis for Austronesian origins.
Asian Perspectives 26(1):107-117.
1985
Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Sydney: Academic Press.
1989 Archaeological investigations at Bukit Tengkorak and Segarong, southeastern Sabah.
Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 9:122-162.
1990a From late Pleistocene to early Holocene in Sundaland. In C. Gamble and O. Soffer (eds)
The world at 18,000 BP, Vol. 2,
Low latitudes, pp.255-263. London: Unwin Hyman.
1990b Foraging towards farming.
Review of Archaeology 11(2):14-34.
1991 The Austronesian dispersal and the origins of languages.
Scientific American 265(1):88-93.
1992 Southeast Asia before history. Chapter 1 in N. Tarling (ed.)
The Cambridge history of Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
1993 Cultural and biological differentiation in Peninsular Malaysia: the last 10,000 years.
Asian Perspectives 32:37-60.
in press a Hierarchy, founder ideology and the Austronesian expansion. In J.J. Fox and C. Sather (eds)
Origin, ancestry and alliance.
Canberra: Department of Anthropology and Comparative Austronesian
Project, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian
National University.
in press b Prehistoric cultural explanations for widespread language families. In P. McConvell and N. Evans (eds)
Understanding ancient Australia: perspectives in archaeology and linguistics. Oxford: Melbourne University Press.
Benedict, P.K.
1975
Austro-Thai language and culture. New Haven: Human Relations Area Files Press.
1976 Austro-Thai and Austro-Asiatic. In P.L. Jenner
et al. (eds)
Austroasiatic Studies, pp.1-36. Honolulu: University of Hawaii Press.
Blust, R.A.
1984-5 The Austronesian homeland: a linguistic perspective.
Asian Perspectives 26(1):45-68.
1991 The greater Philippines hypothesis.
Oceanic Linguistics 30(2):73-129.
Chang, K.C.
1977 A new prehistoric ceramic style in the southeastern coastal area of China.
Asian Perspectives 20:179-182.
1986
The archaeology of ancient China (4th edition). New Haven: Yale University Press.
1992 Taiwan Strait archaeology and Protoaustronesian. Paper presented
to International symposium on Austronesian studies relating to Taiwan,
Academia Sinica, Taipei, December 1992.
Diffloth, G.
1979 Aslian languages and Southeast Asian prehistory.
Federation Museums Journal 24:3-18.
Flenley, J.R.
1988 Palynological evidence for land use changes in South-East Asia.
Journal of Biogeography 15:185-197.
Fox, J.J.
1977
Harvest of the palm. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Friedman, J.
1981 Notes on structure and history in Oceania.
Folk 23:275-295.
Golson, J.
1985 Agricultural origins in Southeast Asia: a view from the east. In V.N. Misra and P. Bellwood (eds)
Recent advances in Indo-Pacific prehistory, pp.307-314. New Delhi: Oxford and IBH.
Golson. J. and D.S. Gardner
1990 Agriculture and sociopolitical organization in New Guinea Highlands prehistory.
Annual Review of Anthropology 19:395-417.
Hayden, B.
1983 Social characteristics of early Austronesian colonizers.
Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 4:123-134.
Higham, C.
1989
The archaeology of mainland Southeast Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
Irwin, G.
1992
The prehistoric exploration and colonization of the Pacific. Cambridge: Cambridge University Press.
Kirch, P.V.
1988 Long-distance exchange and island colonization: the Lapita case.
Norwegian Archaeological Review 21:103-117.
MacNeish, R.
1992
The origins of agriculture and settled life. Norman: University of Oklahoma Press.
Meacham, W.
1984-5 On the improbability of Austronesian origins in South China.
Asian Perspectives 26(1):89-106.
Norman, J. and T-L. Mei
1976 The Austroasiatics in ancient south China: some lexical evidence.
Monumenta Serica 32:274-301.
Renfrew, C.
1987
Archaeology and language. London: Jonathan Cape.
1992 Archaeology, genetics and linguistic diversity.
Man 27:445-478.
Reid, L.R.
1984-5 Benedict’s Austro-Tai hypothesis: an evaluation.
Asian Perspectives 26(1):19-34.
1990 The search for original Negrito: Negrito languages as creolized
Austronesian. Paper given at 14th IPPA Congress, Yogyakarta, August
1990.
Ruhlen, M.
1987
A guide to the world’s languages. Volume 1:
Classification. California: Stanford University Press.
Spriggs, M.
1989 The dating of the island Southeast Asian Neolithic.
Antiquity 63:587-612.
Tsang Cheng-hwa
1992
Archaeology of the P’eng-hu Islands. Taipei: Institute of History and Philology, Academia Sinica, Special Publication 95.
Yan Wenming
1991 China’s earliest rice agriculture remains.
Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 10:118-126.
1993 The origins of agriculture and animal husbandry in China. In C.M. Aikens and Song Nai Rhee (eds)
Pacific Northeast Asia in prehistory, pp.113-123. Pullman: Washington State University Press.
Zorc, R.D.P.
1994 Austronesian culture history through reconstructed vocabulary (an overview). In A. Pawley and M. Ross (eds)
Austronesian terminologies: continuity and change,
pp.541-594. Pacific Linguistics Series C No. 127. Canberra: Department
of Linguistics, Research School of Pacific and Asian Studies, The
Australian National University.