Minggu, 02 Januari 2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Permasalahan
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari sisa-sisa peninggalan masa lalu melalui benda-benda yang ditinggalkan oleh manusia pendukungnya. Hingga kini menurut pakar arkeologi, tujuan kajian arkeologi adalah mempelajari sisa-sisa peninggalan masa lalu untuk mengungkapkan kehidupan masa lalu, berusaha merekonstruksi sejarah kebudayaan, dan merekonstruksi cara hidup masyarakat masa lalu serta merekonstruksi proses perubahan kebudayaan (Binford, 1972: 90).
Sisa-sisa peninggalan budaya dari masa prasejarah dikelompokkan dalam beberapa masa yaitu masa hidup berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, dan masa perundagian. Pada masa bercocok tanam atau masa neolitik ini muncul tradisi budaya tersendiri yang dikenal dengan kebudayaan megalitik (Soejono dkk, 1990: 16-17).
Kebudayaan megalitik merupakan istilah untuk menyebutkan kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar. Mega berarti besar dan lithos berarti batu, kebudayaan megalitik selalu berdasarkan pada kepercayaan akan adanya hubungan antara yang meninggal, terutama kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari salah satu yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Objek-objek batu yang berukuran kecil, dan bahan-bahan seperti kayu pun harus dimasukkan ke dalam klasifikasi megalitik bila benda-benda itu jelas dipergunakan untuk tujuan sakral tertentu, yakni pemujaan kepada arwah nenek moyang (Soejono dkk, 1990: 205).
Pendirian bangunan dalam tradisi megalitik ini selalu didasarkan pada kepercayaan akan adanya hubungan dengan yang telah meninggal dunia. Kepercayaan ini dipusatkan pada adanya pengaruh kuat dari orang yang telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman (Asmar, 1990: 22-23). Selain itu, dalam pemikiran masyarakat megalitik ada anggapan bahwa gunung merupakan tempat yang dianggap suci, yaitu tempat bersemayamnya roh nenek moyang (Sukendar, 1981: 85). Bangunan megalitik didirikan dengan orientasi ke puncak gunung atau bukit dan dijadikan berbagai media penghormatan, lambang dari yang meninggal, tahta kedatangan serta sebagai media pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang (Soejono dkk, 1990: 205).
Sisa-sisa peninggalan megalitik ditemukan hampir di setiap wilayah Indonesia. Situs-situs megalitik yang telah ditemukan sampai saat ini antara lain di daerah Nias (Sumatera Utara), Nagari Mahat, Kabupaten Lima Puluh Kota (Sumatera Barat), Cirebon, Kuningan, Sukabumi, Cianjur (Jawa Barat), Matesih, Terjan, Gunung Kidul (Jawa Tengah), Besuki (Jawa Timur), Minahasa (Sulawesi Utara), Toraja (Sulawesi Selatan), dan masih banyak lagi di berbagai daerah di Indonesia (Sukendar, 1982: 60).
Asal kebudayaan megalitik yang masuk dan berkembang di Indonesia telah dilakukan penelitian oleh beberapa ahli prasejarah, tetapi belum ada kesepakatan dari mana asal kebudayaan tersebut. Masing-masing peneliti mempunyai pendapat yang berbeda, misalnya J. Mac Millan Brown berpendapat bahwa kebudayaan megalitik berasal dari Mediterania, masuk ke Indonesia melalui Asia Tenggara dan dibawa oleh suku bangsa Kaukasia. Wiliam J. Perry berpendapat bahwa kebudayaan megalitik berasal dari Mesir dan berkembang di Indonesia karena dibawa oleh para imigran yang datang dari Mesir untuk mencari emas dan mutiara. Ia juga mengatakan bahwa kebiasaan mendirikan bangunan dan membuat benda-benda megalitik merupakan unsur yang disebut archaic civilization. Berdasarkan penelitian di Indonesia, Assam, Burma, Palestina, Asia Tengah, dan Eropa. Geldern sependapat dengan Brown yang mengatakan bahwa kebudayaan megalitik yang masuk ke Indonesia berasal dari Mediterania (Geldern, 1945: 148), yang diperkuat oleh van der Hoop dalam karangan ilmiahnya De Prehistorie yang mengatakan bahwa kebudayaan megalitik dan kebudayaan perunggu datang dari Hindia Belakang (Hoop, 1932: 108).
Masuknya kebudayaan megalitik ke Indonesia menurut Geldern melalui dua gelombang besar yang disebut megalitik tua dan megalitik muda. Megalitik tua berkembang sekitar masa neolitik antara tahun 2500 SM sampai sekitar 1500 SM dengan hasil kebudayaan berupa menhir, dolmen, bangunan berundak serta bangunan-bangunan lainnya yang bersifat monumental. Kebudayaan megalitik muda berkembang sekitar masa perunggu dan besi dengan hasil kebudayaan berupa kubur peti batu, pandhusa, sarkofagus, kalamaba, waruga, dan benda megalitik lainnya yang bersifat ornamental. Kebudayaan megalitik ini didukung oleh suku bangsa Austronesia yang juga merupakan pendukung budaya beliung persegi dan mereka telah mengenal pendirian bangunan megalitik sebagai tanda peringatan suatu prosesi upacara dan sering juga dihubungkan dengan alam kubur (Geldern, 1945: 149).
Kedua gelombang kebudayaan megalitik ini dalam perkembangannya bercampur dan saling tumpang tindih dengan tradisi-tradisi lokal serta mencampurkan diri ke dalam budaya Hindu, Islam, dan Eropa (Soejono dkk, 1990: 206). Hal ini dapat dilihat misalnya di Tanah Toraja dan Tanah Batak yang perkembangannya mengalami percampuran budaya setempat.
Di Nias masih ditemukan kebiasaan mendirikan menhir, kursi batu, dan benda-benda megalitik lainnya. Terjadinya peristiwa pencampuran dan saling tumpang tindih kedua gelombang kebudayaan megalitik ini, menimbulkan kesulitan dalam membedakan megalitik tua dengan megalitik muda. Seperti temuan megalitik tua yang ditemukan di daerah Matesih Surakarta yang ditandai dengan menhir yang terbuat dari batu tunggal serta ratusan watu kandang lainnya yang ternyata mengandung unsur logam sehingga cenderung dikatakan tidak terlalu tua (Nitihaminoto, 1976: 29).
Bangunan-bangunan megalitik di Indonesia, baru mendapat perhatian dari para ahli sekitar awal abad ke-19 yaitu ketika seorang paderi E.C. Wilsen pada tahun 1802 melaporkan tentang hasil temuannya berupa tempat pemujaan yang terdiri atas menhir, bangunan berundak, dan patung nenek moyang. Bangunan dan benda-benda megalitik ini ditemukan di Lemo Cirebon (Hadimulyono, 1977: 29).
Di antara banyak jenis hasil kebudayaan megalitik, salah satu diantaranya yang banyak dibicarakan para ahli adalah menhir. Menhir adalah sebuah batu tegak yang sudah dikerjakan atau belum dikerjakan dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati orang yang telah meninggal. Benda tersebut dianggap sebagai media penghormatan, menampung kedatangan roh dan sekaligus menjadi lambang dari orang-orang yang diperingati (Soejono dkk, 1990: 213).
Peninggalan megalitik yang berupa menhir banyak terdapat di berbagai daerah di Indonesia, antara lain di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Menhir-menhir yang ditemukan biasanya berdiri tunggal, namun ada juga menhir yang ditemukan dalam keadaan berkelompok dan membentuk suatu formasi tertentu seperti temu gelang, bujur sangkar atau segi empat (Atmosudiro, 1980: 81).
Schnitger dalam bukunya Forgotten Kingdom in Sumatra (1939) pernah menyebut-nyebut beberapa daerah yang ada di Lima Puluh Kota seperti Aur Duri, Koto Tinggi, Koto Gadang, Suliki, dan Belubus sebagai tempat-tempat berkembangnya tradisi megalitik.
Tijdschift Bataviasch Genootschappen jilid IV terdapat artikel yang berjudul ”Oudheden te Weskunt van Sumatera” dengan pengarang yang tidak diketahui, artikel ini menyebutkan adanya peninggalan tradisi megalitik di daerah Sumatera Barat (Anonim, 1955: 549; 550).
Penemuan menhir di Sumatera, khususnya di Sumatera Barat yang masih memiliki sisa peninggalan berupa kebudayaan megalitik adalah kawasan Mahat, yang berstatus salah satu nagari di antara dua belas nagari yang ada di Kecamatan Bukit Barisan. Secara administratif Mahat termasuk dalam wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota. Mahat yang terletak di lembah, berpagar perbukitan, memiliki duabelas ke-nagari-an yakni: Koto Gadang, Bungo Tanjuang, Aur Duri, Ampang Godang I, Ampang Godang II, Ronah, Koto Tinggi I, Koto Tinggi II, Koto Tinggi III, Nenan, Sapam Tanah, dan Sapam Godang. Di wilayah ini peninggalan megalitik yang ditemukan berupa: menhir, lumpang batu, batu dakon, batu-batu bulat, batur punden, batu-batu besar berlubang, batu besar berukir, dan sebagainya. Menhir menduduki jenis penemuan paling dominan. Ditemukan dalam berbagai bentuk, ukuran, dan pola hias (Tim Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, 1985: 18-19).
Pada beberapa situs, ditemukan sisa-sisa peninggalan purbakala berupa batu tegak (menhir), lumpang batu, batu dakon, susunan temu gelang, dan lain-lain. Beberapa situs seperti Koto Tinggi (Bawah Parit), Ronah, Ampang Gadang, Kayu Keciak, Bukit Dompu, dan lain-lain menunjukkan bukti kreativitas seni hias sisa peninggalan masa lampau pada batu tegak. Peninggalan kepurbakalaan di atas pertama kali disebutkan oleh Schnitger yang mengaitkan batu tegak tersebut dengan bentuk yang sama ditemukan di Semenanjung Malaka. Selanjutnya, beberapa peneliti asing dan pribumi sedikit demi sedikit mulai menaruh perhatian terhadap peninggalan di atas. Beberapa batu tegak (menhir) dapat dikategorikan berdasarkan bentuk, hiasan, dan ukuran. Bentuk batu tegak terdiri atas bentuk yang tidak memerlukan pembentukkan atau mengikuti struktur batuan, pembentukan sederhana, dan pembentukan dengan memahat salah satu sisi batuan menjadi bentuk melengkung. Teknik pembuatan batu tegak tidak lepas dari jenis bahan bakunya (Aziz, 1998: 24-25).
Bentuk dan ukuran menhir yang ada di Nagari Mahat menyiratkan fungsi dan makna. Di Situs Padang Ilalang adalah makam seorang yang disegani masyarakat yakni Datuak Sati, merupakan seorang tokoh yang menyebarkan ajaran agama Islam di daerah Ronah. Keistimewaan dari makam ini dapat dilihat dari pola hiasan segitiga pada menhir dan satu-satunya menhir yang berhias di situs tersebut. Berbeda dengan keberadaan tinggalan megalitik berupa balai-balai batu (punden) yang ada di Situs Koto Gadang, dulunya di atas balai-balai batu terdapat sebuah menhir berukuran sekitar 50 cm namun sudah hilang.
Balai-balai batu dulunya difungsikan sebagai tempat upacara dan pengorbanan sapi diiringi dengan doa bersama yang tujuannya untuk keselamatan mereka dan untuk kesuburan tanaman. Pendapat lain dari masyarakat tentang balai-balai batu ini mengatakan bahwa dulunya balai-balai batu digunakan sebagai tempat sidang kepala-kepala suku. Masyarakat Mahat saat ini, tidak memfungsikan sebagaimana tradisi yang ada sebelumnya, kadang ada dari beberapa individu masyarakat yang bernadzar, guna meminta pertolongan seperti kesembuhan, murah rezeki, dan lain-lain bahkan menhir yang terletak disekitar situs ini di fungsikan sebagai tiang mengikat kerbau atau sapi tujuannya agar ternak mereka bisa dijaga oleh kekuatan menhir karena menhir dianggap keramat.
Pada perkembangan selanjutnya, tradisi megalitik di Nagari Mahat tidak lagi semata-mata bertujuan untuk memuja arwah leluhur, tetapi memiliki tujuan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan dari pendukung tradisi megalitik. Tujuan lain tersebut adalah untuk memohon terhindar dari wabah penyakit, memohon dimurahkan rezeki, melindungi diri dari bencana (alam dan peperangan), mohon kesuburan, dan sebagai penolak bala terhadap kekuatan jahat. Hal ini telah terjadi pergeseran fungsi yang mula-mula sebagai media pemujaan roh leluhur, kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhan.
Di Situs Koto Tinggi tahun 1985 dan 1986, Puslit Arkenas melakukan penggalian dan menemukan 7 rangka manusia yang memiliki ciri-ciri Ras Mongoloid. Dari hasil penggalian terlihat adanya satu orientasi dari pola peletakan mayat dalam kubur, yaitu arah Barat laut-Tenggara, dan semua rangka yang ditemukan tersebut ditempatkan pada sebuah lubang atau liang lahat (Yondri, 1996: 5-9).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, menhir di Nagari Mahat memiliki variasi tipologi yang beragam serta variasi hiasan yang di dalamnya tersirat makna tertentu. Penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut peninggalan prasejarah terutama menhir yang terdapat di Situs Ke-nagari-an Mahat. Berdasarkan hal di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi.
1. Bagaimana tipologi menhir di Situs Nagari Mahat ?
2. Bagaimana fungsi dan makna menhir dalam kehidupan sosial adat istiadat di Nagari Mahat masa lampau dan sekarang ?

1.2 Tujuan Penelitian
Kesederhanaan perencanaan dapat dirumuskan sebagai penentuan serangkaian tindakan untuk mencapai sesuatu hasil yang diinginkan. Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan umum dan khusus yang pada dasarnya untuk memecahkan permasalahan yang ada.
Adapun tujuan penelitian arkeologi secara umum adalah (1) merekonstruksi sejarah kebudayaan, (2) merekonstruksi cara hidup manusia masa lampau, dan (3) merekonstruksi proses perubahan budaya (Binford, 1972: 80). Dari ketiga tujuan di atas, maka tujuan umum penelitian ini terkait dengan tujuan yang ketiga yaitu bagaimana proses perubahan budaya yang terjadi di Nagari Mahat.
Selain bertujuan untuk mengetahui hal tersebut di atas, tujuan keseluruhan penelitian ini mencoba mengetahui kehidupan kebudayaan masa lampau, dan bagaimana proses budaya yang terjadi dilihat dari kehidupan tingkah laku masyarakat masa sekarang di Nagari Mahat.
Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui keragaman bentuk, ukuran, dan pola hias menhir yang tersebar di situs Nagari Mahat terutama di Situs Koto Tinggi, Situs Padang Ilalang, dan Situs Koto Gadang. Kemudian dapat menjelaskan mengenai fungsi dan makna menhir dalam kehidupan sosial adat istiadat masyarakat Mahat khususnya dan Minangkabau umumnya.

1.3 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian mempunyai manfaat yang penting baik bagi ilmu pengetahuan maupun bagi peneliti sendiri. Dari hasil penelitian menhir di Nagari Mahat, peneliti berharap dapat menghasilkan beberapa manfaat, antara lain sebagai berikut.

1.3.1 Manfaat Teoretis
Memberikan gambaran yang lebih luas tentang keberadaan menhir di Mahat, baik itu dari segi fisik (tipologi) maupun dari fungsi dan makna menhir. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah data arkeologi atau menjadi salah satu bahan acuan (referensi) bagi penelitian selanjutnya.


1.3.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah memberi informasi bagi Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pembinaan, perlindungan, pelestarian, dan pemeliharaan terhadap tinggalan arkeologi sehingga masyarakat yang ada di sekitar situs memiliki kepribadian dan memahami arti penting sebuah sejarah masa lampau.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Pokok permasalahan maupun objek penelitian dibatasi, agar dalam pengambilan data di lapangan maupun dalam pengolahan data jadi lebih terarah. Untuk mendapatkan hasil yang maksimum maka dalam penelitian ini perlu kiranya ditentukan ruang lingkupnya, guna memberikan batas-batas dalam penelitian baik yang menyangkut objek itu sendiri maupun wilayahnya.
Data diperoleh sebagai bahan penulisan, penelitian dilakukan hanya terbatas pada peninggalan tradisi megalitik di Situs Nagari Mahat yaitu menhir, di antaranya Situs Koto Tinggi, Situs Padang Ilalang, dan Situs Koto Gadang. Penelitian juga melihat konteks temuan lain berupa lumpang batu dan batu dakon.
Agar penelitian yang dilakukan lebih terarah, maka lingkup penelitian ini juga mencakup masalah yang dibahas, yaitu tipologi, fungsi, dan makna menhir dalam kehidupan sosial adat istiadat di Nagari Mahat dulu dan sekarang.

1.5 Tinjauan Pustaka
R.P. Soejono dkk (1990) dalam buku Jaman Prasejarah di Indonesia, menjelaskan menhir adalah sebuah batu tegak yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakkan dengan sengaja di suatu tempat untuk memperingati orang yang telah meninggal dunia. Benda tersebut dianggap sebagai media penghormatan, menampung kedatangan roh, dan sekaligus sebagai lambang dari orang-orang yang diperingati.
R.P Soejono dalam artikelnya (1969) yang dimuat pada Asean Perspective III, dengan judul ”The History of Prehistory Research in Indonesia to 1950” menyatakan selain arah hadap ke puncak gunung, ada pula sarjana yang menghubungkan arah timur-barat dengan arah perjalanan matahari, sebagai arah hadap atau orientasi tertentu. Jika orientasinya ke puncak bukit atau gunung, bangunan megalitik tersebut didasarkan pada konsepsi, bahwa roh nenek moyang yang telah meninggal dunia akan tetap hidup dan bersemayam di puncak gunung.
H.G. Quaitch Wales (1958) dalam buku yang berjudul The Mountains of God, menjelaskan sehubungan dengan munculnya kebiasaan melakukan pemujaan kepada arwah leluhur oleh masyarakat pendukung tradisi megalitik. Wales mengatakan bahwa salah satu cara pemujaan kepada arwah nenek moyang adalah dengan mendirikan bangunan di atas bukit. Bangunan tersebut dimaksudkan sebagai sarana hubungan antara yang masih hidup dengan yang telah mati. Gunung atau bukit dianggap sebagai suatu tempat yang suci, sumber potensi, dan sumber kesuburan.
Lucas Partanda Koestoro dan Ketut Wiradnyana (2005) dalam buku Tradisi Megalitik di Pulau Nias, menyebutkan di Nias banyak objek berupa menhir (batu besar seperti tiang atau tugu yang sengaja ditegakkan di atas tanah sebagai tanda peringatan dan lambang arwah nenek moyang), tahta batu, dan lainnya. Adapun tahta batu merupakan objek penting yang sudah berkembang dengan pola hias manusia dan kadal, dan masih dipergunakan oleh pimpinan yang dihormati pada saat tertentu misalnya dalam sebuah pertemuan maupun upacara-upacara keagamaan.
Robert von Heine Geldern (1945) dengan judul Prehistoric Research in The Netherland Indies, yang membahas hasil penelitian prasejarah di Indonesia yang telah dilakukan oleh para sarjana arkeologi. Artikel ini disimpulkan bahwa tradisi megalitik berhubungan dengan kepercayaan adanya kehidupan setelah mati, selain itu bangunan megalitik didirikan dengan tujuan untuk melindungi arwah, agar terhindar dari gangguan dalam kehidupannya di dunia arwah.
Haris Sukendar menulis buku berjudul Peninggalan Megalitik di Cianjur Jawa Barat (1985), yang menjelaskan tentang peninggalan-peninggalan budaya megalitik yang pernah berkembang di Cianjur. Peninggalan-peninggalan tersebut antara lain berupa menhir, batu datar, bangunan berundak, lumpang batu, batu pelor, dan sebagainya. Haris Sukendar mengemukakan bahwa menhir adalah batu tegak yang mempunyai fungsi tertentu yang biasanya dikaitkan dengan kegiatan yang bersifat sakral dan profan. Disebutkan bahwa menhir difungsikan sebagai tanda kubur, namun tidak dijelaskan secara terperinci apakah difungsikan sebagai sarana pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
Ayu Kusumawati dan Haris Sukendar dalam bukunya yang berjudul Megalitik Bumi Pasemah, Peranan dan Fungsinya (2000), menjelaskan bahwa menhir mempunyai bermacam-macam bentuk, ada yang polos dan ada yang dipahatkan dengan berbagai hiasan seperti manusia dan buaya. Selain itu dalam perkembangannya menhir mempunyai fungsi dan peranan yang beragam. Ada yang digunakan sebagai tanda kubur, tanda kebesaran, dan tonggak untuk penyembelihan binatang korban dalam suatu upacara.
A.N.J.Th. a. Th. van der Hoop dalam bukunya yang berjudul Megalithic Remains in South Sumatera (1932), membahas tentang peninggalan megalitik di Sumatera Selatan khususnya di Pasemah pada tahun 1931. Hasil penelitiannya berupa publikasi lengkap tentang peninggalan megalitik di Pasemah. Simpulan dari penelitian tersebut bahwa tradisi megalitik berhubungan dengan kepercayaan akan kehidupan sesudah mati dan peninggalan megalitik yang mempunyai arah hadap timur-barat belum tentu berhubungan dengan pemujaan matahari. Hal ini dapat dilihat pada beberapa peninggalan megalitik di Pasemah, ada yang mempunyai arah hadap berbeda misalnya memiliki timur-barat seperti: tetralith (group of four stone), jalan batu (stone avenues), peti batu (stone cists), dan arah Barat laut-Tenggara seperti: dolmen, kubur berundak (terrace graves), serta beberapa lagi orientasinya tidak jelas, seperti arca (images), lesung batu, menhir (up right stones), batu berlubang (pit marked stones). Dengan demikian bahwa orientasi barat laut tidak berarti mengikuti tradisi pemujaan matahari.
Haris Sukendar dalam bukunya Album Tradisi Megalitik di Indonesia (1996/1997: 41), disebutkan tentang temuan lumpang batu yang terdapat di Situs Komplek Tinggihari (Pasemah), keberadaan yang begitu banyak Sukendar menyimpulkan bahwa kemungkinan di sana pernah ada tempat hunian (tinggal) sebagai pemukiman. Pendapat itu bisa diperbandingkan dengan situs megalitik di Sumatera Barat, seperti Situs Bawah Parit, Sie Talang, dan Guguak. Di Suliki Gunung Emas, lumpang-lumpang batu yang banyak ditemukan dengan berbagai temuan seperti gerabah dan pecahan keramik asing memberikan petunjuk bahwa tampaknya lumpang batu tersebut keberadaannya disebabkan oleh berdirinya rumah tinggal. Hal ini dimaksudkan bahwa kemungkinan setiap satu rumah tinggal memiliki satu lumpang batu dari hasil studi analogi etnografi bahwa masyarakat Minangkabau, khususnya di sekitar situs ini mengatakan bahwa setiap kepala keluarga memiliki sebuah lumpang batu. Dari perbandingan antara Sumatera Barat dan Sulawesi Tengah, lumpang berperan sebagai kelengkapan rumah tangga untuk sarana menumbuk padi atau biji-bijian.
Fadhila Arifin Aziz dalam artikelnya (1998), dimuat pada majalah Amoghapasa 7/IV, dengan judul ”Batu Tegak (menhir), Wujud Kreativitas Seni Hias Masyarakat Minangkabau pada Masa Lampau”, menyebutkan sisa-sisa peninggalan purbakala berupa batu tegak (Menhir) ditemukan bersama lumpang batu, batu dakon, susunan temu gelang, dan lain-lain. Beberapa situs seperti Bawah Parit, Ronah, Ampang Gadang, Kayu Keciak, Bukit Dompu, dan lain-lain menunjukkan bukti kreativitas seni hias sisa peninggalan masa lampau pada batu tegak.
D.D. Bintarti dalam artikelnya berjudul (1987) Seni Hias Prasejarah Suatu Studi Etnografi, memberikan beberapa pendapatnya tentang ragam hias prasejarah antara lain menyebutkan bahwa ragam hias prasejarah merupakan salah satu unsur kebudayaan yang berkaitan dengan unsur kebudayaan lain. Konsep keindahan pada ragam hias disesuaikan dengan tujuan pembuatannya, oleh karena itu hampir seluruh ragam hias prasejarah mengandung kekuatan magis yang dapat melindungi diri dari kekuatan yang tidak baik dan menambah kesejahteraan. Ragam hias prasejarah dikerjakan dengan cara melukis (dinding gua, dinding ceruk, dan batu), menggores (batu dan tanah liat), memahat (batu), dan mencap (dinding gua, dinding ceruk, batu, dan tanah liat).
Haris Sukendar dalam disertasinya yang berjudul Arca Menhir di Indonesia, Fungsinya dalam Peribadatan (1993), menyebutkan di Koto Gadang Sumatera Barat arca menhir berfungsi sebagai sarana upacara. Arca menhir tersebut tampaknya berfungsi ganda, pertama sebagai tanda kubur semacam mejan (nisan), dan kedua berfungsi menggambarkan arwah orang yang meninggal sekaligus merupakan sarana pemujaan. Arca menhir Sumatera Barat seperti menhir-menhir yang lain diarahkan ke gunung karena gunung dianggap suci sebagai tempat bersemayamnya arwah nenek moyang dan berkaitan dengan pemujaan arwah. Setelah dilakukan penggalian pada tahun 1986 terbukti bahwa menhir atau arca menhir merupakan tanda penguburan yang selanjutnya dipuju-puja oleh masyarakat yang ditinggalkan.
Tim Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (1985) dalam buku yang berjudul Peninggalan Megalitik di Kabupaten Lima Puluh Koto, Propinsi Sumatera Barat, menyatakan bahwa adanya kenyataan bahwa menhir-menhir digunakan juga pada masa Islam sebagai tanda kubur yang dikenal dengan istilah batu mejan dengan arah hadapnya ke Selatan, diperkuat lagi oleh pendapat masyarakat tentang peranan menhir dalam sistem adat istiadat beberapa tempat di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota. Menhir didapat dalam berbagai bentuk, ukuran, polos, dan berhias. Pada umumnya dibuat dari batu gunung, tetapi ada juga dari batu padas dan batu andesit. Warnanya bermacam-macam, ada yang berwarna kemerah-merahan, keputih-putihan, keabu-abuan. Ada pula menhir yang ditemukan berpasangan.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat ditarik asumsi bahwa pada masa lampau pendirian menhir di Nagari Mahat sangat berkaitan dengan kepercayaan arwah leluhur (ancestor worship), dan berorientasi ke arah gunung. Dari tipologi terutama pola hias menhir menunjukkan status sosial dari orang-orang yang dikuburkan. Pada perkembangannya, fungsi menhir mengalami perubahan, yang pada awalnya sebagai media pemujaan, beralih menjadi media untuk penghormatan terhadap leluhur dan sebagai tanda kubur (batu mejan) dan kebutuhan profan lainnya, seperti sekarang menhir dijadikan tempat mengikatkan hewan ternak.

1.6 Metode Penelitian
Penalaran yang dipakai dalam penelitian ini adalah penalaran deduktif yaitu penalaran yang bergerak dari teori yang bersifat umum untuk menjelaskan fakta yang bersifat khusus. Penalaran ini menjadi dasar penelitian yang bersifat pengujian suatu gejala dalam kerangka pikir tertentu (Tanudirdjo, 1987:3)
Mengawali penelitian, dengan berpedoman pada beberapa teori tentang menhir bahwa menhir merupakan salah satu bentuk peninggalan megalitik. Benda-benda material itu berupa bangunan-bangunan yang terbuat dari batu, benda-benda prasejarah yang mengandung makna dan isyarat bahasa pikiran nenek moyang.
Menhir memiliki variasi tipologi dan motif hias, keragaman variasi tersebut menyiratkan makna simbolik tertentu. Menhir di Nagari Mahat berjumlah kurang lebih 800 buah menhir. Tipologi menhir mayoritas berbentuk seperti hulu pedang dan berbentuk ganggang golok, yang dipahatkan dengan berbagai jenis hiasan seperti sulur, sulur ganda, garis, dan geometris. Variasi bentuk, ukuran, dan pola hias tersebut tidak lain merupakan hasil dari aspirasi masyarakat pendukungnya. Menhir yang berfungsi sebagai media pemujaan kepada arwah leluhur selanjutnya berubah menjadi media penghormatan, tanda kebesaran, penanda batas tanah, dan sebagai tanda kubur hingga masuknya periode Islam.
Menhir-menhir di Nagari Mahat terletak di atas bukit dan orientasi arah hadap ke Tenggara yakni Gunung Sago, seperti halnya bahwa tradisi pendirian bangunan megalitik secara keseluruhan di atas bukit dimaksudkan sebagai sarana hubungan antara yang masih hidup dengan yang telah meninggal, karena gunung dianggap suci.
Mengingat permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah soal hasil karya manusia yang berupa bentuk yakni menhir beserta fungsi dan maknanya dalam kehidupan masyarkat dahulu dan sekarang. Disamping penggunaan teori-teori di atas dalam penelitian juga melakukan pendekatan sosiologis dan agama yang melatarbelakangi perwujudan kebudayaan material tersebut.
Penelitian ini menggunakan studi etnoarkeologi, yang berusaha memahami kebudayaan masa kini melalui budaya materi yang ada. Studi etnoarkeologi bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara data arkeologi yang ditemukan dengan pola tingkah laku masyarakat melalui suatu perbandingan dengan gejala masa kini.
Etnoarkeologi yang mengungkap makna artefak dalam kehidupan masa kini, menurut Colin Renfrew dan Paul Bahn (1991:166) pemaknaan muncul dari adanya pengetahuan yang berkembang terhadap artefak. Pemaknaan diperoleh dari masyarakat yang dikaji (emik) dan sudat pandang peneliti (etik).
Hakikat dari metode menyangkut cara kerja untuk memahami objek penelitian, metode yang dipilih disesuaikan dengan maksud dan tujuan penelitian. Secara garis besar tahapan penelitian ini menggunakan tahap-tahap sebagai berikut.

1.6.1 Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah awal yang dilakukan untuk mengumpulkan semua data yang ada berhubungan dengan objek yang akan diteliti. Tahapan ini dilakukan pengumpulan data, baik itu data primer (data lapangan) maupun data sekunder (literature). Pengumpulan data ini menggunakan beberapa metode yaitu:
a. Studi kepustakaan
Metode ini digunakan untuk mengeksplorasikan data sekunder dalam bentuk konsep-konsep, pernyataan, dan teori yang telah dikemukakan oleh para ahli terdahulu, khususnya mengenai menhir. Dalam menganalisis menhir di Nagari Mahat, perlu dihimpun data dari beberapa sumber tertulis baik berupa buku, jurnal, laporan penelitian, skripsi, makalah, majalah, peta, gambar maupun bahan publikasi lainnya yang relevan dengan tipologi serta fungsi dan makna menhir.
b. Metode observasi
Observasi adalah pengamatan secara langsung untuk memperoleh data lapangan terhadap objek yang diteliti serta pola tingkah laku masyarakat terhadap objek. Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan deskripsi tentang keberadaan menhir di Nagari Mahat. Tahap dokumentasi dilakukan dengan melakukan pemotretan, pengukuran, penggambaran, dan pencatatan terhadap objek menhir yang tersebar di Nagari Mahat. Observasi yang dilakukan bermanfaat untuk mendeskripsikan terhadap keberadaan menhir, sehingga penulisan dapat sistematis dan tidak mengada-ada atau rekayasa.
c. Metode wawancara
Untuk melengkapi data yang diperoleh dari observasi, dilakukan wawancara. Teknik wawancara dilakukan tanpa struktur atau free interview tetapi pertanyaan terfokus pada permasalahan yang diangkat, dengan maksud memberikan keterangan yang sebanyak-banyaknya. Pada tahapan ini penulis mencari seorang informan kunci (seorang yang dianggap mengetahui masyarakatnya) yaitu Bapak Yulhendri selaku pak wali (kepala nagari). Dari informan kunci ini penulis dapat menyelusuri beberapa orang informan yang dianggap tahu dan bisa menjelaskan secara detail bagaimana tingkah laku masyarakat dengan keletakan dan keberadaan menhir dulunya dan bagaimana keberadaan menhir sekarang, seperti penghulu adat (datuak), juru kunci situs, tokoh cadiak pandai (intelektual), alim ulama (tokoh agama), dan masyarakat umum.

1.6.2 Tahap Analisis Data
Langkah awal yang dilakukan dalam tahap analisis data adalah klasifikasi terhadap menhir yang telah dijajagi, setelah data primer dan sekunder terkumpul. Adapun teknik yang dipakai dalam analisis data, antara lain:
a. Analisis artefak
Analisis ini adalah dengan mengidentifikasi atribut menhir. Menhir yang berjumlah 367 buah diklasifikasi berdasarkan atribut-atributnya yaitu form attributes berupa bentuk tiga dimensi (panjang, lebar, dan tinggi), stylistic attributes yaitu atribut yang berkaitan dengan motif hias dan pola hias, dan technological attributes yaitu yang berkaitan dengan teknik pembuatan, bahan, serta teknik hias artefaknya. Data yang diperoleh dari ketiga attribut tersebut dituangkan dalam bentuk tabel sederhana.
b. Analisis kualitatif
Analisis kualitatif yaitu analisis yang didasarkan pada kualitas objek penelitian yang dinyatakan dalam bentuk perkataan atau pernyataan, analisis kualitatif ini tidak memerlukan suatu perhitungan atau dinyatakan dalam bentuk angka-angka. Analisis ini digunakan untuk mendapatkan gambaran fungsi dan makna yang jelas mengenai menhir di Nagari Mahat, mengingat menhir-menir di Nagari Mahat memiliki variasi bentuk, ukuran, dan motif hias.
c. Analisis etnoarkeologi
Analisis ini digunakan untuk mempelajari tingkah laku, adat istiadat, serta tradisi-tradisi masyarakat yang masih mendukung maupun latar belakangnya untuk dianalogikan dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Mahat saat ini. Menganalisis data terhadap tradisi dalam masyarakat yang pernah berlangsung, untuk mengetahui prilaku masyarakat masa lampau dan mencari kesejajaran atau perbandingan.
Perbandingan dilakukan dengan meletakkan dua objek atau peristiwa berdasarkan tingkah laku dan berdasarkan persamaan bentuk, lingkungan masa lampau dengan masa kini. Karena dalam perkembangannya ciri budaya yang sekarang merupakan warisan dari budaya yang berkembang sebelumnya.
d. Analisis komparatif
Membandingkan data yang diperoleh di Situs-situs Mahat dengan Situs Pasemah (Sumatera Selatan), Nias (Sumatera Utara), Situs Kubur Losari, Purbalingga (Jawa Tengah) melalui studi pustaka. Studi ini mempertimbangkan beberapa aspek yakni aspek bentuk, aspek fungsi, aspek waktu (kesinambungan budaya), dan aspek ruang (persamaan lingkungan).

1.6.3 Sistematika Penulisan
Setelah semua data terkumpul dan diolah, maka selanjutnya dilakukan penyajian hasil analisis terhadap semua data. Adapun sistematika dalam penulisan ini disusun dalam empat bab, penjabaran dari bab-bab bersangkutan antara lain:
Bab I Pendahuluan
Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang dan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, dan metode penelitian. Bab ini pada dasarnya menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran yang melatarbelakangi penelitian ini.
Bab II Gambaran Umum Penelitian
Bab ini merupakan bab pendeskripsian data tentang menhir di Indonesia, lokasi penelitian, sekilas sejarah Minangkabau, dan mengenai kehidupan sosial budaya Minangkabau.


Bab III Peninggalan Tradisi Megalitik di Nagari Mahat
Bab ini merupakan bab pembahasan dan analisis data situs-situs megalitik di Nagari Mahat, mencakup tipologi menhir, teknologi pembuatan, bentuk, ukuran, ragam hias, arah hadap, serta fungsi dan makna menhir dalam kehidupan sosial adat istiadat di Nagari Mahat masa lampau dan sekarang.
Bab IV Penutup
Bab ini merupakan bab penutup dari tulisan ini, yang berisi uraian tentang simpulan yang dicapai dan saran yang ditujukan kepada pihak-pihak tertentu terutama kepada peneliti-peneliti selanjutnya serta kepada masyarakat dalam usaha menjaga dan melestarikan benda cagar budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar